Makassar, — Isu pemutusan hubungan kerja (PHK) massal di lingkup Pemerintah Kota Makassar, termasuk di Perumda Air Minum (PDAM), mencuat ke permukaan dan memicu perhatian serius DPRD Makassar.
Pemerintah Kota (Pemkot) Makassar mengklaim bahwa, langka tersebut merupakan bentuk penataan pegawai Non-ASN yang telah sesuai dengan aturan yang berlaku.
Ketua Pansus LKPJ DPRD Makassar, Hartono, menegaskan bahwa pihak legislatif akan mengawasi ketat proses penataan pegawai non-ASN agar tidak disusupi kepentingan politik terselubung.
Hartono, yang juga Anggota Fraksi PKS itu, menyampaikan bahwa jumlah pegawai yang terdampak rasionalisasi tidak sebesar isu liar yang beredar.
“Kita ambil contohnya isu yang berkembang menyebutkan sampai 400 orang yang kenapa PHK di PDAM, Setelah kami telusuri, jumlah riilnya sekitar 200-an, sebagian besar karena kontrak berakhir Mei 2025 atau karena kinerjanya kurang memuaskan,” ungkapnya, Senin (19/5/2025).
Namun, Hartono menegaskan bahwa DPRD bisa mencium potensi penyalahgunaan kewenangan jika rasionalisasi ini justru membuka ruang untuk masuknya pegawai baru yang tidak melalui mekanisme objektif.
“Jangan sampai ini hanya akal-akalan untuk mengganti pemain. Kami di DPRD, khususnya Komisi B, sudah ingatkan Direktur PDAM dan jajaran Pemkot. Kalau yang dikeluarkan karena alasan rasio pegawai sudah melebihi ketentuan Permendagri, maka jangan ada yang diam-diam masuk menggantikan,” ujar Hartono dengan nada tegas.
Menurut Permendagri, PDAM idealnya memiliki lima pegawai untuk setiap seribu pelanggan. Rasionalisasi, katanya, seharusnya menjadi bagian dari upaya efisiensi agar kinerja meningkat dan beban operasional menurun bukan dijadikan celah untuk mengakomodasi kepentingan politik.
Hartono menambahkan, jika ditemukan praktik manipulatif atau pengangkatan pegawai baru tanpa transparansi, DPRD akan memanggil pihak terkait untuk dimintai pertanggungjawaban.
“Kalau ini dilakukan tanpa manajemen yang matang dan menyebabkan layanan terganggu atau menimbulkan dampak sosial besar, kami tidak akan tinggal diam. DPRD wajib turun tangan,” katanya.
Ia juga menekankan pentingnya efisiensi yang berdampak nyata. Hartono mencontohkan, dengan jumlah pegawai PDAM saat ini sekitar 1.500 orang, perusahaan mampu menyetor deviden sekitar Rp11 miliar pada tahun 2024. Bila rasionalisasi dilakukan dan beban operasional turun signifikan, maka dividen seharusnya meningkat secara proporsional.
“Kalau efisiensi dilakukan dan bisa hemat hingga Rp7 miliar, dividen mestinya bisa naik jadi Rp15 miliar atau lebih. Kalau tidak, berarti efisiensinya tidak tepat sasaran. Itu yang akan kami tagih,” tandasnya.
DPRD Makassar, lanjut Hartono, akan terus memantau proses ini untuk memastikan tidak ada satu pun kebijakan yang diselewengkan.
“Kami tidak ingin penataan pegawai dijadikan pintu belakang untuk masuknya ‘pemain baru’ yang tidak berdampak apa-apa bagi pelayanan publik. Ini soal akuntabilitas,” tutupnya.
Sebelumnya, Wali Kota Makassar, Munafri Arifuddin, angkat bicara terkait polemik pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap ribuan tenaga honorer atau Laskar Pelangi di lingkungan Pemerintah Kota Makassar.
Munafri menegaskan bahwa tidak ada PHK massal yang dilakukan oleh pemerintah kota. Menurutnya, langkah penataan ini semata-mata merupakan implementasi dari regulasi nasional yang mewajibkan penyesuaian status kepegawaian.
“Apa yang harus diributkan? Aturannya sudah jelas. Ini bukan PHK, tapi penegakan aturan. Saya harap yang menyebut program 100 hari saya hanya soal PHK bisa memahami konteksnya,” tegas Munafri.
Ia menekankan bahwa semestinya semua elemen masyarakat turut mengawasi dan menelusuri bagaimana bisa sekitar 3.000 honorer direkrut tanpa mekanisme yang sesuai regulasi.
“Kalau tetap kita pertahankan, artinya kita sengaja membiarkan pelanggaran terhadap aturan pemerintah pusat. Ini bukan sekadar soal pegawai, ini soal komitmen terhadap tata kelola yang benar,” ujarnya.
Munafri juga menyoroti beban anggaran daerah jika tenaga honorer tanpa kejelasan legalitas tetap digaji dari APBD. Ia mempertanyakan urgensi mempertahankan sistem yang justru berpotensi merugikan keuangan daerah.
“Coba bayangkan, apa iya kita harus bayarkan gaji tanpa dasar yang sah? Berapa besar anggaran kita yang tersedot hanya karena membiayai hal-hal yang tidak sesuai aturan?” katanya.
Ia meminta publik untuk melihat lebih dalam akar persoalan, termasuk siapa pihak yang terlibat dalam proses perekrutan tenaga non-ASN yang tidak sesuai jalur resmi.
“Harusnya yang kita kontrol itu, kenapa bisa terjadi? Siapa yang meloloskan? Siapa yang proses sampai bisa berjalan? Itu yang perlu diungkap,” tutupnya.(*)