Indonesia: Sebuah Cermin yang Retak

Indonesia: Sebuah Cermin yang Retak



Apa yang bisa dibayangkan tentang masa depan negeri kepulauan terbesar di semesta raya ini? boleh jadi lebih banyak yang memilih tidak ingin peduli karena wabah individualisme telah menggenangi separuh lebih besar nurani rakyat bangsa ini, bisa jadi kepeduliaan itu juga telah ikut dikorupsi dan tertelan dalam lumpur kerakusan perut buncit para elit, pun boleh jadi rasa peduli itu disandera oleh ketakutan dari tradisi tangkap-menangkap para mereka yang vocal oleh begundal kekuasaan, jika alasan terakhir betul adanya maka itu cukup bisa mengafirmasi kesuburan jenis tanaman bernama regressive politics di tanah para pendekar pikiran yang menyusun kedalaman ide-ide kemerdekaan dan kemajuan.


Pada masa kesuburan negeri ini seluruh jenis tanaman dimungkinkan untuk dikembangbiakkan demi menjaga ketahanan pangan dan energi hidup masyarakat, pada waktu yang sama seluruh organisme pengganggu tanaman harus dimusnahkan dari lahan para petani, hal yang sama juga berlaku di ruang publik kita, demi menjaga kesehatan hidup berwarganegara seluruh patologi sosio-politik yang menggentayangi rumah keindonesiaan kita mesti dikikis sebelum mengakar dan menjelma tanaman baru di taman sari bangsa ini. 


PELAYAN YANG DILAYANI
Gambaran ini cukup baik melukiskan keadaan mental para pejabat negeri kita yang selalu mengemis untuk dilayani, entah itu dengan kenaikan gaji, rumah dinas yang asri, ataupun kendaraan megah yang proses ratifikasinya tidak selelet ketika rakyat mengurus surat izin mengendara dengan berbagai instrumen birokrasi yang carut marut.
Dengan alasan ketertiban umum di hadapan institusi negara, para pengemis, pemulung, dan pangamen yang bekerja untuk menyambung hidup ditindak tegas menggunakan teks undang-undang dengan ancaman pidana kurungan enam minggu bahkan berbulan-bulan sebagaimana diatur dalam pasal 504 dan 505 KUHP, sementara di saat yang sama kekuasaan malah memelihara para pengemis berdasi yang hanya tahu berdandan tidur dan makan serta sedikit berbicara agar ditahu bekerja oleh majikan-majikannya.


Keahlian pemangku kebijakan hanya mensensor kemiskinan melalui penertiban para pengemis dan sekawannya kemudian dengan kealpaan muka mereka dari sorot kemera lalu disimpulkan secara semena-mena sebagai keberhasilan pemerintah dalam menurunkan angka kemiskinan lewat kekuatan improvisasi di media. 


Desain politik kita selalu tidak sengaja melahirkan kembali pada pengemis berdasi dengan setelan jas rapi yang kadang bermental yatim piatu dengan lembaran dolar menjejal di dompetnya. Seperti juga Montesquieu yang galau menghadapi kenyataan di mana demokrasi lebih banyak dikorupsi oleh model kesetaraan ekstrem yang membuat setiap orang merasa pantas menjadi pemimpin, akhirnya berbagai rekayasa dibuat untuk menutupi kedangkalan pengalaman, kemiskinan modal sosial serta ketandusan gagasan. 


Dalam kondisi masyarakat yang serba pragmatis kekuatan sumberdaya alokatif (intrumen materil) logika popularitas dengan sendirinya akan sanggup menenggelamkan logika otoritatif dari kualitas kewibawaan visi dan ideologis. Mudahnya, persekutuan elit ekonomi dan oligarki kepartaian lagi-lagi keluar sebagai pemenang dalam pesta domokrasi yang sejatinya merayakan kegagalan sistem tersebut. 


Dengan kondisi politik yang carut marut seperti ini, sudah seharusnya kita tampil sebagai subjek yang berdaulat yang menanggalkan mentalitas konformis dengan kapasitas nalar rendah sehingga menempatkan kita sebagai mangsa empuk bagi tirani politik. Setelah partai politik tidak lagi teruji sebagai penjaga gawang demokrasi, maka kelompok intelektual sudah seharusnya mengisi kekosongan fungsi itu sebelum gawang demokrasi dibobol lebih sering oleh para autokrat berwajah polos dengan tubuh yang lincah memainkan prosedur.  


Kemunculan kaum terpelajar dalam panggung politik merupakan hal yang niscaya, jauh sebelum kemerdekan, kaum guru yang dihimpun dalam Mufakat Guru membuka jalan bagi arah transformasi pendidikan yang lebih emansipatif sehingga pada awal abad 20 menemukan momentumnya dengan kemunculan politik etis setelah kemenangan partai Kristen yang mewakili kelompok sayap kanan pada Pemilu 1901. Berpijak pada rintisan jalan generasi sebelumnya, angkatan muda kaum terdidik berhimpun dalam berbagai wadah yang memperkenalkan tradisi pikiran dan literasi bercorak diskursif argumentatif, dari kehangatan pikiran itulah cita-cita kebangsaan diartikulasikan dengan megah bersama komitmen merintis jalan kemerdekaan dari atas mimbar rakyat dan mobilisasi lewat media.


Kedepannya tugas intelektual kita secara kolektif adalah memastikan sumberdaya otoritatif tidak lagi bertekuk lutut di depan logika pasar para oligar-kapitalis yang hanya sanggup melahirkan pemimpin bermental gembel yang pada saatnya akan mengamini autokrasi, seperti juga dahulu kaum terpelajar kita mengambil posisi sebagai kekuatan penyeimbang bagi bangsawan oesoel yang mendasarkan prestisenya secara parokial-feodalistik.


DEMOKRASI YANG DIREKAYASA
Membersamai Indonesia dalam tapak tilas sejarah perpolitikannya, demokrasi masih menjadi gagasan megah dan mahal yang masih senantiasa diamini sebagai sistem politik tercanggih abad 21, meskipun harus diakui bahwa sistem ini belum mampu membawa Indonesia keluar dari kemelut warisan persoalan masa lalu, sebagaimana juga demokrasi belum bisa melahirkan pemimpin yang menempatkan rakyat sebagai rumah tempatnya kembali bukan sebagai komoditas murahan yang terkurung dalam genggaman tangannya.


Persoalan besar yang dihadapi demokrasi hari ini terletak pada keterlibatan logika pasar yang begitu mencolok dalam desain kebijakan politik kita sehingga kran kebebasan tidak mampu menginjeksi tegaknya keadilan dan terwujudnya keseimbangan antara hak dan kewajiban. Sudah barang tentu kebebasan tidak bermakna apa-apa tanpa diimbangi oleh kesetaraan dalam pemenuhan hak politik, ekonomi, sosial dan budaya. Meminjam ukuran kemerdekaan Franklin Delano Roosevelt yang dibaginya dalam empat kategori: Freedom of speech (kebebasan berpendapat), Freedom of religion (kebebasan beragama), Freedom of fear (bebas dari ketakutan), dan Freedom from want (bebas dari kemiskinan/kekurangan). Formulasi Franklin begitu jelas memandang kesetaraan sebagai jembatan penghubung kemerdekaan pada cita-cita keadilan. 


Dalam prinsip kesetaraan, suara rakyat yang berpikir rasional akan lebih dihargai ketimbang suara menteri yang hanya tahu berpikir komersial. Dengan kesetaraan semua sama di depan hukum sehingga penjahat akan tetap menjadi penjahat di mata hakim. Jika kesetaraan telah menjadi bagian yang menggenangi kehidupan bernegara kita maka keadilan dengan sendirinya akan terwujud, namun memahami demokrasi hanya sebatas kebebasan akan membuat orang saling membunuh untuk mempertahankan eksistensi, saling merusak rumah ibadah, saling mecuri dan merampas hak milik orang lain untuk memenuhi kebutuhan.

Karenanya kesataraan menjadi sangat perlu, menjadi setara berarti kesediaan menempatkan seseorang sebagai bagian integral dari diri kita, itu yang disebut kesatuan, meleburnya berbagai perbedaan ke dalam satu pertautan kemanusiaan (civic nationalism) yang menangani preferensi kesukuan (etno-nationalism) masa lampau, kita adalah satu, satu untuk semua dan semua untuk satu, aktualisasi dari kesatuan itu adalah penyatuan dalam satu rasa kewargaan yang bermuara pada kebajikan bersama (virtues). 


Hal yang sama juga berlaku bagi persatuan, dia hanya akan menjadi konsep kosong dihadapan mereka yang terpinggirkan, maka bangunan persatuan hanya bisa berdiri kokoh jika cita-cita keadilan dapat diwujudkan, hal demikian juga diisyaratkan oleh John Raws yang meyakini sumber persatuan dan komitmen kebangsaan dari negara multikultural adalah konsepsi keadilan bersama (a share conception of justice), betapun kuatnya jahitan persatuan nasional kita tanpa disertai distribusi keadilan yang merata, negara ini akan bisa terpecah belah berkeping-keping oleh perlawan dari kecemburuan sosial yang bahkan mampu mengoyak jubah persatuan Indonesia yang masih meninggalkan sobekan luka di beberapa bagian. 


Dengan demikian desain demokrasi Indonesia kita bangun berdasar atas cita-cita keseimbangan dari prinsip kebebasan, kesetaraan, keadilan dibawah bimbingan nilai-nilai kebijaksanaan dalam bingkai moral ketuhanan dan keluhuran cita-cita kerakyatan demi tercapainya Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur. 

    
Akhirnya, betapapun kabut pesimisme sedang membentang menutupi langit Indonesia, politik harapan harus selalu menghiasi pekarangan rumah negeri ini sebab masa depan lukisan Indonesia bergantung pada pilihan warna yang kita goreskan pada kanvas masa kini, karenanya mari melukis harapan di atas endapan kepiluan berlatar hitam.

The post Indonesia: Sebuah Cermin yang Retak appeared first on Kolong Kata.


Sumber: https://kolongkata.com/2020/03/01/indonesia-sebuah-cermin-yang-retak/