ABBISSA RARA

ABBISSA RARA



           Di lorong pasar yang gelap saat udara sekitar masih berbau hujan, kudengar teriakan wanita  yang menggeram kesakitan. Aku berlari mencari titik suara itu.

           “lepaskan” teriakanya memberontak.

Pikiranku kacau, mungkin karena aku baru saja menghabiskan delapan botol tuak1. Tetapi aku tetap memaksakan diri menuju arah suara itu..

          “tolong, bantu aku” ia kembali berteriak setelah melihatku.

Suaranya bercampur tangis, setiap ia ingin berteriak pria di hadapanya mencoba menyumbat mulutnya. Ia terisak, matanya mengarah kepadaku dengan sorotan lemah dan memohon, arah sorotanya di ikuti oleh pria itu.

Dua pria tiba tiba berhenti memaksa wanita itu lalu lari ketakutan melihatku datang. Aku tak tau pasti siapa mereka, sebab ada topeng yang menutupi wajahnya. Sesampaiku di samping wanita itu, air matanya berderai, kulihat bajunya sobek tergeletak di tanah, celannya melorot dan Puting susunya nampak jelas. Kubuka bajuku lalu kukalungkan pada tubuhnya untuk menutupi dadanya yang telanjang. Dengan Gemetar ia mengambil baju yang bergantung itu dan menggenakanya perlahan. Kuangkat ia dan aku mengantarnya pulang. Di sepanjang perjalanan ia terus menangis, yang kudengar hanya suara lirih dari bibirnya yang menggigil.

          “mereka ingin memperkosaku”

~ ~ ~

 Kulihat istriku, wajahnya nampak malu malu setelah aku bercerita tentang masa lalunya kembali. Malam berlalu, kusimpan garis lembut tubuhnya dalam benakku.

           “Bangunlah, aku telah menyiapkan  kopi di atas meja” panggil istriku.

           “ya sebentar” jawabku sambil merenggangkan tubuh yang masih mengantuk.

Perempuan yang telah lima tahun kuperistri ini adalah satu satunya perempuan yang bisa menerima seluruh keadaanku yang sedari dulu hidup dengan utang yang menumpuk dan juga cara hidupku yang buruk. Intang, begitu namanya. kami tinggal berdua di bangunan tua bekas penyimpanan peti peti ikan nelayan di pinggiran pasar. Hidup berdua dengan istriku tanpa di karuniai seorang anakpun, sebab intang mengidap penyakit vaginismusyang membuat kami harus mengubur dalam dalam harapan untuk memiliki anak. Intang selalu menyuruhku untuk menikah lagi, namun entahlah, aku sangat mencintainya, semakin aku terlibat dengan semua penderitaanya semakin ingin aku bersamanya.

Hari itu begitu ramai, para nelayan yang baru saja tiba menyandarkan perahu mereka di tepian pelabuhan. Sedang istri mereka menunggu dengan bahagia, entah karena suami mereka datang dengan selamat atau karena harapan bisa menjual banyak ikan tangkapan sehingga bisa berbelanja damai untuk keluarga dan juga kesenangan diri. Perahu berjejeran rapi di pelabuhan begitu pula  pagandeng juku3 yang berlomba mencari ikan yang akan mereka beli lalu dijual kembali di desa mereka.

          “Pahu, habiskan kopimu. Diluar sudah banyak pagandeng juku yang siap membeli ikan nelayan nelayan itu, kau mau hanya disisakan ikan ikan yang layu dan tak segar lagi ?” seru intang di dapur.

          “biarlah, lagi pula kita telah mendapatkan keuntungan yang besar kemarin, jadi hari ini aku hanya ingin beristirahat saja sambil menghitung berapa uang yang akan ku berikan ke Rolli dan berapa yang akan kupakai untuk kujadikan modal lagi”

Tak lama berselang, di luar suara motor yang di paksa meraung raung mengusik telingaku “pahu, keluar kau !!!, sudah lama sekali kau tak pernah membayar utangmu, atau mungkin kau sudah lupa ?”. suaranya sudah seperti gemuruh petir, lantang dan menyayat  sehingga membuat air liurku tak sanggup kutelan. ditambah lagi dengan  peti berhamburan dilantai , membuat aku tak kuasa menahan marah . Kuambil parangku, panjang dan berkilauan.

           “apa maksudmu?, lancang sekali kau tiba tiba datang berteriak lalu menghamburkan peti ikanku”. kupertontongkan parang milikku, Semua orang melirik tak peduli.

~ ~ ~

Sejak dulu aku dan Rolli sahabat baik. Di masa muda, kami melewatkan hari hari dengan meminum tuak atau kalau bosan kami akan mengolok ngolok pemuda lain yang lewat dan berkelahi. Kami terkenal sebagai biang permasalahan sehingga orang orang enggan meladeni kami. Aku sudah di tinggal mati oleh ibuku sejak umur empat tahun. Dan ayahku, aku tak tau dia, karena beberapa minggu setelah sepeninggal ibuku ia pergi melaut dan tak pernah pulang lagi. Mungkin ia mati tenggelam atau mecari pulau lain dan menikahi salah satu janda disana, aku tak peduli. Tantekulah yang mengambil hak asuhku dan membawaku kemari, ditempat yang asing. Tanteku tidak pernah peduli terhadapku ia selalu membiarkanku melakukan apa saja, karena itulah aku menjadi pemuda yang buruk di mata orang orang sekarang. Setelah menikahpun aku dan Rolli masih melakukan hal gila, kadang di kerumunan orang di pasar kami cek cok yang tidak jelas sehingga membuat orang berdatangan melerai, padahal itu akal akalan Rolli dan aku saja untuk menarik perhatian. Pernah sekali kami mengatur siasat, ketika bau amis ikan segar tercium di pasar.

           “kau hendak kemana ?” tanyaku ke Rolli yang telah berpakaian khas dirinya, celana yang di sengaja di robek di lutut dan topi coboy kecokelatan.

            “aku ingin ke seberang, sepupuku Rabbaning mengadakan pesta kalomba4untuk anaknya” jawab Rolli yang sudah bersiap untuk pergi.

            “oh jadi kau akan meninggalkanku ?” sambil berdiri dan kecewa terhadap perkataan Rolli.

            “tubuhmu berbau amis, dan pakaianmu masih di penuhi sisik ikan. Apalah kata orang disana ketika sampai melihatmu seperti ini, tentunya aku yang bakal malu”

            “kurang ajar, beraninya mencelaku di tengah kerumungan orang begini” kaki bajuku kuangkat agar terlihat badik yang terselip di celanaku. Seketika badikku telah telanjang lalu mengahampirinya.

            “sampah” teriak Rolli yang turun dari motornya.

Para pria berdatangan dan ibu ibu histeris melihat kami. Tiga orang pria masing masing menahan aku dan Rolli, namun kami berhasil meloloskan diri. Aku dan Rolli saling menghampiri dan menodongkan badik. “sudah cukup” teriak beberapa wanita yang histeris dan berusaha melerai lewat jeritan mereka. Jarak aku dan Rolli semakin dekat, para pria masih berusaha melerai kami, hingga saat bau nafas bisa kami cium satu sama lain  kamipun tertawa terpingkal pingkal, orang orang bingung dengan apa yang sedang terjadi. Mereka masih belum mengerti kalau kami mengerjai mereka. Hingga akhirnya wajah jengkel orang orang mulai nampak, mereka meninggalkan kami dengan kesal. Kejadian seperti ini terus berulang ulang meski dengan cerita yang berbeda. Kadangkala kami berpura pura bergulat di keramaian pasar sampai ada yang melerai kami dan setelah itu kami akan tertawa di hadapan mereka. Biasa juga aku mendorong Rolli kelaut dan ketika ia naik kembali, kami akan berkelahi sampai ada yang melerai kami lagi, begitu seterusnya hingga orang orang sudah tidak peduli lagi jika kami melakukan perkelahian.

Akupun menikahi intang, kami melaksanakanya teramat sederhana. Meskipun demikian aku masih tetap juga menggunakan lumayan banyak uang, sebab banyak ritual ritual adat yang harus di lakukan dengan memakai hewan hewan ternak yang mahal. Biaya pernikahan sebagian kupinjam dari sahabatku Rolli, dan separuhnya adalah hasil keringatku sebagai tukang es ikan. Tanteku juga menyumbang sedikit. Rolli memang sahabatku yang terbaik, sudah banyak masalah yang kuhadapi dan ia selalu membantuku.

           “aku berjanji akan mengembalikanya secepat mungkin” kataku.

           “iyya tidak apa apa, berbahagialah kau sobat” Rolli memelukku dan haru tiba di mataku.

Sehabis pernikahanku, Rolli dan Aku masih menjalani hari hari seperti biasa, perilaku buruk kami belum berubah, hari hari di habiskan dengan meminum tuak di tempat pelelangan ikan, kadang kadang kami masih mengerjai orang tapi tidak seperti dulu. Orang orang sudah tak peduli dengan kami jikalau melakukan hal hal seperti itu lagi. Kami memutuskan untuk serius mencari uang dulu, jikalau ada waktu luang barulah aku dan Rolli bertemu lagi untuk minum tuak. Menjadi suami memang sungguh berat. Berbeda dengan masa muda, yang jikalau tak punya uang tidak mempengaruhi apa apa. Tapi, setelah menikah, aku bukan hanya memikirkan hidupku saja, tapi juga istriku. Mungkin kelak jikalau  kami punya anak , bebannya akan bertambah. Pastinya sebagai ayah yang bertanggung jawab aku harus menyekolahkanya, membelikanya mainan, memberinya uang jajan dan mendidiknya agar tak seperti ayahnya yang pemabuk dan pekerjaanya yang hanya sebagai tukang es yang selalu berharap kepada nelayan agar pulang cepat dan petinya di penuhi banyak ikan.

 Hasil yang didapatkan menjadi tukang es sangat sedikit jadi kuputuskan untuk mencari pekerjaan lain, sebab pekerjaanku dulu tidak cukup untuk memenuhi kebutuhanku setelah menikah. Jadi aku mencoba mengambil peruntungan kecil menjadi pedagang ikan saja. Menjadi pedagang tentunya lebih baik daripada pekerjaanku dulu, selain jauh lebih terpandang di hadapan masyarakat, hasil yang di dapatkan pula jauh lebih banyak. Sebagian utang pernikahanku kepada Rolli sudah mendekati lunas, namun disisi lain untuk menjadi pedagang ikanpun aku harus meminjam modal lagi kepadanya, mungkin agak banyak. Seperti biasa Rolli meminjamkanku dan aku memberinya harapan kalau uangnya akan kembali secepatnya. Rolli belum menikah, karena itulah ia selalu membantuku, sebab ia tak begitu memikirkan berapa uang yang harus di berikan kepada sang istri untuk keperluan dapur dan lainya.

~ ~ ~

Pagi itu angin berhembus kencang, dan teriakan Rolli menggema di telingaku. Sudah beberapa bulan memang saya tak pernah bertemu denganya, ia sangat sibuk dengan kegiatan barunya. Kata orang ia menjual tanah warisan keluarganya karena selalu kalah dalam permainan judi, ia juga sering terlihat di arena persabugan ayam. Wajah mabuk menyambutku di depan pintu.

           “ada apa denganmu ?” dengan kesal ku perlihatkan parangku, parang warisan keluarga, nenekku memberikanya lima hari sebelum ia terbujur kaku di kuburan. Di dalam sarung parang itu ada tulisan berbahasa daerah, di atas kertas putih yang agak kusut dengan tinta hitam yang sudah memudar “tabarakallahu ahsanul siddiking nasaba alla ta’ala” menjadi penutup di dalam tulisan itu. Aku sudah mengetahuinya, sebab ia berpesan sebelum di serahkanya padakau.

            “ini parang kakekmu. Di dalamnya ada selembar kertas, lafaskanlah kalimat itu jikalau kau ingin kulit dan dagingmu mengeras seperti baja. Tak ada senjata apapun yang akan menembusnya, namun hanya ada satu pantanganya” ucap nenekku sambil tersenyum.

            “apa itu ?” tanyaku.

            “ketika kau memakainya, jangan biarkan dirimu di sentuh oleh perempuan. siapapun itu !!”.

Wajah Rolli memerah, seketika tanganya sudah mendarat di wajahku dan hidungku mengeluarkan darah “tidak tau diri” kalimatnya mengeras .

            “kembalikan semua uangku palukka5“ sambil meludahiku.

Ku hela darah yang mengalir di hidungku, kupukuli ia sekali, kutendangi ia sampai terkapar di lantai. Tubuh kecilnya tak mampu menahan serangan kakiku yang besar. Rolli bangkit membalas tendanganku dan menghajar habis habisan, tubuhnya lincah sehingga aku tak mampu menghindar. Aku terkapar di tanah, tubuhku di penuhi sisa air ikan yang hitam dan busuk. Rolli menghampiriku lagi, ia menerjang perutku dengan kakinya, namun terjangan selanjutnya bisa aku hindari dan bangkit secepat mungkin lalu berlari ke arah parangku terjatuh. Kubacakan mantra dan kuyakini sepenuh hati. Orang orang masih melirik kami acuh, mereka mungkin berfikir ini hanya akal akalan  kami lagi sehingga tak ada yang mau datang melerai.

Warna gelap di langit mulai nampak, dan hujan turun perlahan. Parangku sudah di genggaman lalu kuhunus menuju Rolli. Di dadaku ada api yang tiba tiba membara, baru kali ini aku di permalukan demikian.

           “kemari kau” panggil Rolli dengan nada tinggi.

Rolli mengeluarkan pedangnya pula yang sedari tadi tersimpan di punggung motor. Hujan semakin deras, para pedagang berlarian mencari tempat untuk berteduh, sementara nelayan naik ke perahu mereka. peti peti ikan di tutup rapat agar hujan tidak masuk dan membuat ikan cepat membusuk. Ratusan pasang mata memandangi kami dari atas perahu sampai di rumah rumah kecil yang dibangun di pasar itu. Kuhampiri Rolli, ia menebaskan pedangnya ke arahaku. Orang orang mulai terkejut, kulihat wajah mereka yang tak nampak jelas saling berbicara satu sama lain. Rolli menebas bagian kakiku, kemudian pinggang lalu paha, setetes darahpun tidak mengalir di tubuhku. Secepatnya kupukuli Rolli, ku injak mukanya lalu ku tendang menjauh. Ia terguling di tanah, tak mungkin aku membunuhnya sebab ia teman baikku dan sudah banyak bantuan yang telah ia berikan, lagi pula ia dalam keadan mabuk. Tetapi, perlakuanya tadi belum bisa kuterima. kembali lagi kupukuli ia, darah di wajahnya bercucuran. Kupandangi sekitar, hujan lebat membuat pandanganku tak jelas. Hanya ada suara mesin perahu yang menjauh dari pelabuhan dan rintihan Rolli yang kesakitan karena wajahnya yang kuhantam berkali kali. Orang orang belum ada yang mendatangi kami. Mungkin mereka masih berfikir kami hanya berpura pura belaka.

            “rarangku kubalasa rarangnu6”  Rolli berdiri mengancam lalu mengambil parangnya yang tergeletak di tanah. Parangnyapun berkilauan, tato di betisnya sudah sewarna dengan tanah. Sekali lagi Rolli berlari ke arahku mengacung-acugkan parang miliknya. Aku tetap berdiri dan tak melakukan apa apa sementara ia menebas perut sampai leherku bagai batang pohon pisang yang telah matang dan siap untuk di tebang.

Bersusah payah Rolli melakukan itu, namun semua hanya sia sia. Kutendang ia sekali lagi hingga ia terseret dan terjungkir kebelakang. Kuletakkan parangku, sementara Rolli menyiapkan diri untuk penyerangan selanjutnya. Ia menyerangku tidak dengan parang lagi, kami bergulat di atas genangan air hujan, tiga pukulan mendarat di wajahku.

           “kau lebih bisa membuatku merasakan sakit ketika kau tak menggunakan apa apa ketimbang kau memakai parang sialanmu itu yang sudah ribuan tahun tak pernah kau asa” teriakku ke Rolli yang menduduki perutku dan memukul wajahku habis habisan. Kudapati kesempatan untuk keluar dari kunciannya dan langsung ketempat parangku berada.

Parangku sudah di genggaman “kemari kau, akan kucincang habis tubuh kecilmu itu” teriakku menggebu gebu, di kepalaku hanya ada fikiran untuk membunuh Rolli yang sudah kelewatan.

            “sudah cukup, apa yang kalian lakukan” Intang tiba tiba di dekatku memohon dan memegang kakiku, ia menangis dan histeris. Rolli mendekat, ku lempar Intang menjauh. Aku tak menoleh sedikitpun, mungkin ia terkapar di tanah. Darahku semakin mendidih ketika Rolli mendekat, kuayungkan parangku ke arah leher Rolli, namun ia menghindar. Ia terus menghindar setiap kali aku mengayungkan parang dan akan menebasnya. Hujan hanya bertambah lebat seperti amarahku yang enggan redah. Orang orang mulai menuju ke arah kami, dari kejauhan beberapa pria terlihat berlari. Aku masih mencoba mengayungkan parang kearahnya, namun satupun seranganku tak ada yang berhasil. Rolli mendekat dengan parangnya, matanya melotot bagai anjing yang baru saja melahirkan. Langkahnya yang pasti mengarah kepadaku, ia kemudian berlari, ku siapkan diri dan tanpa kusadari parangnya telah menebas pundakku, luka mengangah dan darah yang mengalir deras keluar. Kubalas tebasan itu namun hanya mengenai lenganya dan membuat goresan kecil. Rolli kembali maju mengayungkan parangnya dan mengarah di leherku, gerakanya cepat hingga aku tak mampu menghindar. Seketika wajahku menengadah ke tanah, kulihat genangan air memerah dan kepalaku teramat pusing, pandanganku tiba tiba gelap, hanya suara Intang yang kudengar, sepertinya ia berteriak namun samar samar di telingaku. Tubuhku roboh, tangis melengking di telinga.

            “apakah hidupku akan berakhir”

Tiba tiba terkenang wajah istriku saat pertama kali aku melihatnya, jumat berhujan di saat petang ia memakai daster kuning duduk di pelataran rumahnya. Hujan selalu membuat warna warna menjadi jelas. Ia cantik persis seperti Helen yang di culik dan menyebabkan perang Troya terjadi. Aku mengetahuinya dari film yang entah apa judulnya itu saat aku menonton di pos satpam di dekat rumah ibuku dulu. Intang, namanya baru aku tau setelah keesokan harinya aku mencoba berjalan jalan di dekat rumahnya. Lalu kudengar ibunya memanggil, sejak itulah aku menghafal namanya sebaik mungkin. aku terkadang menuliskan perasaan perasaanku terhadapnya di selembaran kertas lalu berniat untuk mengirimkanya, namun itu tak pernah ku lakukan. Pernah sekali setelah kami menikah, Intang mendapatiku merangsang penisku di kamar mandi, sontak aku kaget dan malu. Intang terlihat bersedih, mungkin ia merasa bersalah sebab penyakit  yang di deritanya  akibat kejadian masalalu yang membuatnya selalu stress dan menangis hingga aku hanya memuaskan diri sendiri. Rasa bersalah itulah mungkin yang membuat Intang melanjutkan ritualku sampai pada tahap puncak. Ku kecup keningnya dalam dalam.

            “maafkan aku” lirihnya sambil membersihkan sisa sisa kejantananku yang tak memiliki tempat berlabuh selain lautan.

             “aku mencintaimu, kau tak perlu meminta maaf” aku menenangkan.

Intang tersenyum “saat kau melakukanya tadi kau membayangkan siapa ?” tanya intang sambil tertawa kecil.

           “ah, sudahlah jangan membahasnya lagi” jawabku dengan sedikit kesal dan malu.

           “adakah kau melakukan itu dengan memikirkan hal lain selain wajah dan buah dada perempuan ?” tanyanya lagi.

           “maksudmu ?”

           “ya, sesekalilah kau melakukanya dengan memikirkan berapa banyak utangmu ke Rolli, atau berapa orang yang mati hanya karena tak ada yang bisa dimakan atau juga melakukanya dengan memikirkan berapa banyak pencurian uang di negerimu dan pelakunya masih bebas di luaran sana. Kan itu jauh lebih bermanfaat bukan?” ketawanya menjadi jadi, ku kecupnya sekali lagi.

Kami pernah berjanji satu sama lain untuk mencapai hari tua dengan seluruh kenangan kami yang utuh, dan mengenang perpisahan tanpa air mata.

Tubuhku terasa dingin, kubuka perlahan mataku. Nampak dua sosok di sampingku, wajah mereka samar samar.

              “intang” sapaku pelan

              “iyye” suaranya yang lembut masih kudengar jelas, ia menangis meskipun tak nampak air matanya karena telah menyatu dengan hujan.

               “Manusia datang dan pergi seperti dedaunan. Tuhanpun telah menyiapkan jalan yang mesti dilalui masing masing orang, janganlah bersedih” aku masih bisa mengeluarkan suaraku meskipun pelan.

Ia menggenggam tangan dan menciumku, ku perhatikan kembali di belantara matanya di pucuk pucuk pohon tempat bintang bintang yang paling rendah tersangkut dan burung burung beristirahat. Kuperhatikan sosok yang lain disisi berbeda, kulihat ia tertunduk. Kepalanya di donggakkan, ia mengangkan darah di kedua tanganya, tetes tetesnya berjatuhan disela sela jari, ia mengambilnya dari pancuran darah yang keluar seperti mata air dari leherku dan meneguknya seperti orang yang telah melakukan perjalan panjang di musim kering,

                  “ROLLI” lirihku.

~ ~ ~

CATATAN :

        “Abbissa’ rara atau membersihkan darah merupakan salahsatu kepercayaan sebagian masyarakat kajang, baik dalam lingkup lalang embayya (kawasan adat kajang) ataupun pantarang embayya (di luar kawasan adat), masyarakat kajang percaya ketika telah melakukan perkelahian dan salahsatu diantara petarung ada yang tewas maka petarung yang hidup ketika meminum darah petarung yang mati ia akan terhindar dari (rajasa puli) segala hal buruk seperti santet dan juga arwah dari yang terbunuh”.

  1. Tuak                                          : minuman yang diambil dari pohon aren atau biasa juga    kelapa yang telah di sadap
  2. Vaginismus                               : penyakit yang biasa di alami perempuan diakibatkan karena                  stress atau trauma
  3. Pagandeng juku                         : pedagang ikan yang memakai sepeda motor dan    menjajakan ke kampung kampung
  4. Kalomba                                    : tradis adat kajang yang pelaksanaanya dengan mengadakan    pesta, tradisi ini diyakini berfungsi sebagai penyembuh dan penghindar penyakit dan kesialan.
  5.   Palukka                                      : sebutan untuk pencuri
  6.   “rarangku kubalasa rarangnu”   : “darah dibalas dengan darah” (membalas/dendam)

The post ABBISSA RARA appeared first on Kolong Kata.


Sumber: https://kolongkata.com/2020/02/22/abbissa-rara/