KAREBA – Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah melantik pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2019-2023, kemarin di Istana Negara, Jakarta. Meski demikian, penggiat antikorupsi tetap menyatakan penolakannya.
Indonesia Coruption Watch (ICW) menyatakan sikap tegas menolak. Mereka menyebut salah satu pimpinan KPK baru pernah melanggar kode etik saat sebelumnya bertugas di KPK.
“Salah satu Pimpinan KPK diduga sempat bertemu dengan seorang kepala daerah yang sedang berperkara di lembaga anti rasuah itu. Indonesia Corruption Watch pada tahun 2018 lalu melaporkan salah seorang Pimpinan KPK tersebut ke KPK atas dugaan pelanggaran kode etik,” kata Peneliti ICW Kurnia Ramadhana, Sabtu (21/12) dikutip Republika.co.id
Alasan lainnya, lanjut Kurnia, adalah ketidakpatuhan salah seroang pimpiman KPK baru dalam melaporkan harta kekayaan. Padahal kewajiban melaporkan LHKPN sudah diatur secara tegas dalam UU No 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme dan Peraturan KPK No 07 tahun 2016 tentang Tata Cara Pendaftaran, Pengumuman, dan Pemeriksaan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara.
“Tentu catatan ini akan berimplikasi buruk bagi citra KPK yang selama ini dikenal menjunjung tinggi nilai-nilai integritas,” ujar Kurnia.
ICW juga menyebut bahwa salah satu pimpinan KPK baru dilantik saat usianya masih dibawah syarat yang dibolehkan UU KPK Nomor 19/2019. Satu diantara lima Pimpinan KPK, kata Kurnia, masih berusia 45 tahun.
“Hal ini dipastikan menjadi persoalan serius, sebab Pasal 29 huruf e UU KPK baru menyebutkan bahwa untuk dapat diangkat menjadi Pimpinan KPK harus berusia paling rendah 50 tahun,” papar Kurnia.
Kurnia juga menyebut bahwa salah satu pimpinan KPK baru saat masih menjabat Deputi Penindakan KPK pernah dipetisi oleh pegawai KPK. Petisi dikirimkan pegawai kepada pimpinan KPK pada bulan April karena diduga adanya hambatan penanganan kasus di Kedeputian Penindakan lembaga anti rasuah itu.
Kurnia merinci, dugaan hambatan penanganan kasus itu adalah dugaan penundaan gelar perkara di tingkat kedeputian, sering terjadi kebocoran informasi soal tangkap tangan, pegawai di Kedeputian Penindakan merasa kesulitan memanggil saksi dan adanya perlakuan khusus terhadap figur tertentu yang juga menjadi saksi.
“Ditambah lagi dengan seringnya terjadi penolakan penggeledahan di lokasi tertentu dengan alasan yang tidak jelas dan adanya pembiaran terhadap pelanggaran yang dilakukan internal penindakan,” ujar Kurnia.
Alasan terakhir ICW adalah lantaran kelima pimpinan KPK baru itu setuju merevisi UU KPK. Padahal, kata dia, draft revisi yang ditawarkan oleh DPR dan pemerintah tidak pernah sekalipun memperkuat KPK. Selain itu penolakan masyarakat juga sangat meluas perihal perubahan UU KPK tersebut. (Jeg)