Tanganku berusaha menggapai pegangan, tapi sia-sia, air lebih sigap menelanku bulat-bulat. Samar-samar dengan mata yang hampir terpejam, seseorang datang menyelam ke arahku.
Ketika terbangun dengan kepala pening, tau-tau aku sudah berada di sebuah rumah, atau tepatnya sebuah gubuk.
Seorang wanita berdiri di sisi kanan tubuhku. Usianya mungkin Sembilan belas tahun, sebaya denganku. Tapi apa yang membuatku gugup, selain karena kecantikannya adalah kebaya merah transparan yang ia kenakan memperlihatkan dengan samar buah dadanya.
“Iga Asengmu?” Tanyanya, menanyakan namaku.
“Ambo Lalo.” Jawabku. Ada kegetiran yang mencekik saat menyebutkan sebuah nama yang selalu menjadi bahan olok-olokan oleh orang-orang di sekitarku. Memakai nama seperti itu di zaman sekarang memang terlalu kuno.
Aku kembali menatap wanita itu. Sesekali mencuri pandang melihat payudaranya. Ia tertegun. Sesuatu seperti merasukinya. Tubuhnya meneggang dan sebutir air mata jatuh ke pipinya.
Ia menghambur ke arahku, mendekapku erat sambil mengulang-ulang memanggil namaku.
“oh…Ambo, ambo…anakku!”
Aku belum sempat mencerna apa yang terjadi, ketika seorang pria, dari arah pintu, dengan hanya mengenakan sarung di pinggang seperti yang dipakai wanita yang mendekapku ini, tampak kebingungan.
Wanita itu menjelaskan kepadanya bahwa aku adalah Ambo, anak mereka. Kutahulah saat itu bahwa mereka adalah sepasang suami istri.
Pria itu sudah cukup tua. Ia lebih pantas menjadi ayah untuk wanita itu, pikirku. Tubuhnya kekar dan kulitnya legam, tapi di luar itu semua, ia tampak sebagai ayah yang penuh kasih, terbukti dengan pertanyaan-pertanyaan lembut dan peduli yang sering ia lontarkan padaku.
Kepalaku masih belum pulih betul ketika Ia bersama istrinya menjelaskan bahwa mereka sebenarnya telah meninggal, Niladung1, diikat melingkar pada sebuah batu besar, lalu dibuang hidup-hidup dari atas tebing yang di dasarnya terbentang sebuah sungai. Ia mengatakan ini terjadi karena perbuatan salimarak2. Aku tidak tahu apa maksudnya, tapi suatu saat, setelah kembali, aku tahu sungai tempat mereka dibuang itu bernama Bantimurungna Gallang3.
Para warga khawatir bila perbuatan salimarak ini terus dibiarkan, maka nasib sial akan menimpa kampung mereka. Padi yang mereka tanam akan rusak, ikan menghilang di kali, ternak mati, dan warga akan terjangkit penyakit.
“Apa maksudmu?”
“Aku tak pernah tahu bahwa mantan istriku sedang mengandung, ketika kami bercerai. Bertahun-tahun kami tak pernah saling berhubungan. Sampai suatu ketika aku mendengar kabar bahwa hidupnya tidak akan lama lagi. Hanya berbekal sisah kenangan, aku mendatangi kediaman orang tuanya. hanya tinggal tiga orang perempuan di rumah itu, ayah mantan istriku sudah meninggal bertahun-tahun lalu, dan kini hanya tersisa seorang nenek tua pikun, mantan mertuaku yang sudah tak mampu berbuat banyak.
Seseorang gadis jelita membukakanku pintu. Kau akan mengerti setelah kesepian selama bertahun-tahun, dan tiba-tiba datang seorang wanita, dengan tulus mengulurkan tangan, tanpa pikir panjang kau akan menyambutnya.
“inilah anakmu! Tenri uleng, jagalah ia baik-baik” kata istriku dipenghujung napas terakhirnya.
“istriku meninggal ketika Tenri Uleng berumur tiga belas tahun” sambungnya, sambil memalingkan wajah ke arah istrinya.
“Aku tidak mengerti.” Kataku lagi, masih mencerna perkataannya.
“Uleng awalnya adalah anak kandungku,” ia mengambil napas sebentar “mungkin kau heran kenapa aku menyampaikan ini. Tenang saja kami sudah meninggal dan tak perlu ada lagi yang disembunyikan. Biar kulanjutkan. Setelah istriku meninggal akhirnya hak asuh anak, beralih kepadaku.”
“tunggu-tunggu! Jadi maksudmu, kau menikahi anakmu sendiri?”
“kau tidak mengerti nak, biar kuperjelas…”
~ ~ ~
“Masuklah nak! Ini rumahmu.”
Dialah Tenri uleng, anakku. Seorang gadis berumur tiga belas tahun yang baru kutemui beberapa hari yang lalu. Tubuhnya ramping dengan kulit sepucat susu. Mata yang selalu ragu melihatku. Apa yang dipikirkannya? Tak pernah bisa kutebak. Jarang aku berpikir bahwa ia jelmaan dari mantan istriku. Entah kenapa, buatku ia adalah sesuatu yang diluar kemampuanku melihat bahwa ia adalah bagian dari darah dagingku sendiri.
Setiap waktu aku sedapat mungkin mendekatkan diri kepadanya. Ia selalu terlihat kesepian, barangkali ini akibat kematian ibunya. Suatu malam ia terisak, tentu itu memberiku jalan untuk menunjukkan jiwa kebapakanku. Aku merengkuh tubuh mungilnya, kubiarkan ia terisak sampai terlelap di dadaku. Ada kehangatan yang menyeruak dari dalam diriku, bagai mata air yang tiba-tiba menyembur di sebuah lahan tandus yang sudah bertahun-tahun dehidrasi, kekurangan air. Aku tahu ini bukanlah perasaan yang biasa dimiliki seorang ayah kepada anaknya. Di kedalaman jiwaku Sesosok iblis meraung, ingin melepaskan rantai yang membelenggu dirinya.
Hubungan kami semakin akrab. Aku sadar rantai yang membelenggu iblis di dalam diriku, kian hari kian melonggar, tapi aku membiarkannya saja.
Aku tidak lagi bertindak sebagai dua sosok, ayah dan ibu. Tenri uleng, tidak seperti yang kubayangkan mampu mengisi kekosongan di dalam hatiku. Ia begitu lihai bagai wanita dewasa mengatur segala keperluan di gubuk ini. Seolah untuk sementara, kemiskinan tidak menjadi hambatan bagi kehidupan kami. Ibunya telah mendidiknya dengan baik. Ia tak pernah rewel untuk anak seusianya, tapi selalu manja ketika berada di dalam pelukanku. Inilah yang kadang membuatku gila, tapi aku menyukainya.
Sampai suatu ketika iblis yang terbelenggu di dalam diriku itu terlepas juga. suatu malam seperti biasa, Tenri uleng, anakku berada dalam dekapanku, dan sedang lelap tertidur. Aku menciumi keningnya, semakin erat dekapannku, kuelus lembut rambut sampai punggungnya berulang kali. Ia mengerang, menekan jari-jari kukunya ke lenganku. Tanganku semakin berani merayapi daerah terlarang kewanitaanya. Sesuatu yang tak terhindarkan akhirnya terjadi, Tenri Uleng hamil beberapa bulan kemudian. Kami bahagia juga sekaligus takut, di saat itulah, sebelum lahir kami memutuskan untuk memberi nama anak kami ‘Ambo Lalo’ jika suatu saat ia berjenis kelamin laki-laki, nama yang kami berikan sebagai doa agar segala rintangan dalam hidup dapat ia lalui dengan mudah nantinya atau ‘Tenri Abeng’ jika ia nanti berjenis kelamin wanita. tapi sayang kecurigaan warga dengan cepat menyebar, perut istriku perlahan membesar. Apa yang kami takutkan terjadi juga, kami ketahuan. Meski dengan keterpurukan, kami selalu berharap suatu saat nanti kami akan bertemu dengan anak kami di masa depan, meski jazad kami telah tiada, cinta selalu membuat kami lebih kuat.
~ ~ ~
“Jadi kalian memiliki anak?”
“Aku sedang mengandung, sewaktu kami diceburkan ke sungai. Kami tak bisa menghindar dari hukum adat…tapi sekarang kami senang karena kau telah kembali, kau juga sudah dewasa.”
“Aku bukan anakmu!”
“tenanglah nak” kata si pria padaku “kau hanya butuh istirahat, untuk bisa mengerti ini semua.
Aku menghela napas. Kubiarkan diriku agak tenang. Aku menatap ngeri kedua orang ini, apa yang baru saja kudengar, sungguh diluar dugaanku. Kuedarkan pandang keseluruh penjuru gubuk. Tempat ini sungguh kecil, hanya ada dua ruangan, tapi entahlah, sepertinya semua ruangan digubuk ini berfungsi sama.
Banyak benda-benda kuno terselip di dinding bambu dan tergeletak di lantai tanah yang aku tak tahu namanya, semua yang ada di sekitarku terasa asing.
Aku bangkit dengan sedikit agak goyah, berbalik ke arah pintu, lalu menghambur keluar. Cahaya menyergapku. Aku benar-benar di tempat yang asing, di jalan setapak aku berbalik melihat gubuk itu. Rumput liar bergayut di sela-sela atap, pagar bambu yang sudah rubuh, dan daun-daun kering berserakan dimana-mana. Aku baru sadar gubuk itu memang terlihat sudah tak dipakai selama bertahun-tahun.
Kulihat dua orang itu keluar dan memanggil-manggil namaku. Mereka berusaha mengejarku. Aku kembali berbalik dan berlari sekuat tenaga. Sebuah perkampungan dengan rumah-rumah panggung tampak di sela-sela rerimbun pepohonan. sambil berteriak-teriak meminta tolong, aku menghampiri salah seorang warga. Ia tak mendengarku, ku Tarik lengannya, tapi tanganku tak mampu menyentuhnya. Kemudian Ia berbelok menghampiriku. Seperti ada kekuatan gaib, aku tertegun, diriku lebur kedalam tubuhnya, dan tembus sampai kedua punggung kami saling berhadapan-hadapan. Apa aku sudah mati?
“Ambo!” Teriak seseorang di belakangku. Aku kembali berlari lintang pukang ke arah hutan. Aku sama sekali tak mengenal orang-orang yang berpakaian kuno itu, ataupun tempat dimana aku sekarang berada. Aku juga tak yakin masa ini adalah masa sekarang. Aku seperti kembali ke masa lalu. Semua sangat asing di mataku.
Keretak dedaunan kering berhamburan, akibat pijakan kakiku yang terus berlari tak tentu arah. Kedua orang itu masih mengejar sambil berteriak-teriak iba memanggil namaku. Aku tiba-tiba berhenti di sebuah undakan. Jurang membentang dihadapanku. Kulihat di dasar ceruk itu ada sebuah sungai yang memanjang dari arah pegunungan yang berada di sisi kiri tebing. Aku mengenali tempat ini, kecuali tanpa air terjunnya.
Aku ingat semuanya. Teman-temanku, dan Ratna kekasihku. Aku Cuma bermimpi…tapi kenapa semua ini terasa nyata. Kembali kulihat ceruk itu. Lumayan dalam, tapi aneh, tak seperti biasa saat berada di sebuah ketinggian, aku tak merasa takut sedikitpun.
Aku ingat hari itu, menjelang sore. Fahri, temanku sudah mengingatkanku, tapi aku tetap nekat untuk melompat ke sungai.
Tahu-tahu, kekuatan aneh telah membuatku goyah, aku meluncur bebas ke dasar sungai, tepat saat itu kudengar seseorang meneriakkan namaku. Selamat tinggal. Tubuhku berdebam menghantam permukaan sungai.
tiba-tiba, kulihat gambaran samar orang-orang yang berteriak murka, dari atas sebuah tebing. “Dasar pezinah!”
Kedua orang itu sudah lunglai, babak belur, seperti sudah dihajar massa. Tunggu? Aku mengenalnya, kedua Orang yang kutemui di gubuk. tapi ada yang berbeda. Perut wanita itu buncit, seperti sedang hamil. Sementara si pria, wajahnya penyot, tak lagi jelas bentuknya, seperti habis diamuk massa. Mereka hanya terus mengerang menahan rasa sakit.
“Tak ada tempat bagi para pendosa seperti kalian!”
“Lebih baik kalian mati!” Riuh suara warga memaki kedua orang yang sudah tak berdaya itu.
Keduanya dihempaskan ke ceruk jurang. Sebelum menyentuh permukaan air, sesuatu yang aneh terjadi. Kedua sosok mereka lebur menjadi beribu kupu-kupu putih, menyisahkan batu yang meluncur bebas ke dasar sungai. Dari atas tebing, para warga terperangah. Air tiba-tiba menggenangi kaki mereka, air itu terus meluap dari pori-pori tanah, memanjang dari arah belakang lereng perbukitan, terus mengalir membentuk tiga mata air yang terjun bebas ke bawah ceruk. dua mata air itu memiliki debit air yang sama basar, sedangkan yang satu lebih kecil mengalir lebih lambat menjalar rapat ke tubuh tebing. Beribuan kupu-kupu yang mengambang di tengah tebing itu lebur bersatu dengan air terjun.
Kendati masih menjadi tanda Tanya besar di benak setiap warga. Mereka selalu berusaha untuk menafikan apa yang sudah mereka lihat. Tak ada yang berani bertanya, satu sama lain. meski mereka selalu mencoba menafsir dalam pikiran masing-masing, tapi ujung-ujungnya pikiran itu segera dienyahkan. Mereka tahu pikiran itu akan selalu kembali, dan terus menghantui benak mereka.
~ ~ ~
Samar-samar dengan mata yang hampir terpejam, seseorang datang menyelam kearahku. Tegopoh-gopoh aku dibawa oleh teman-temanku. Membaringkanku di tempat terbuka. Ratna, tersedu-sedu memelukku.
Setelah siuman, beberapa hari kemudian aku menceritakan kisah ini kepada mereka, meski tidak ada yang percaya, menganggap aku hanya berkhayal belaka, dan mereka hanya mengumpati kebodohanku. tapi bagaimana denganmu? Kuharap kau percaya dengan kisah yang baru saja kuceritakan, sebab ini benar-benar nyata.
Catatan :
- Niladung :
Hukuman Niladung adalah orang yang diikat pada sebuah batu besar sebagai pemberat, lalu dihempaskan ke laut atau sungai hingga mati.
2. Salimarak :
perkawinan yang sangat dibenci oleh masyarakat, karena terkait dengan adanya hubungan darah yang sangat dekat, misalnya antara ayah dengan putrinya, ibu dengan putranya atau sesama saudara (Inses).
3. Bantimurungna Gallang :
Air terjun Bantimurungna Gallang. Lokasinya berada di 104 Dusun Pao, Desa Pao, Kecamatan Tombolopao, Gowa.
The post SALIMARAK appeared first on Kolong Kata.
Sumber: https://kolongkata.com/2020/02/19/salimarak/