BULUKUMBA ,- Isu stunting menjadi prioritas pemerintah dalam pembangunan kesehatan. Indonesia adalah negara ke-5 dengan jumlah balita tertinggi mengalami stunting. Kabupaten Bulukumba sendiri per Oktober 2019 memiliki anak balita yang mengalami stunting sebanyak 911 jiwa atau 3,59 persen dari jumlah balita 25.350 jiwa.
Atas kondisi tersebut Pemerintah Daerah melalui Dinas Kesehatan Bulukumba menggelar Workshop Konvergensi Percepatan Pencegahan dan Penanggulangan Stunting, dengan mengundang berbagai stakeholder terkait yang berlangsung di gedung PKK Bulukumba, Jl. Anggrek, Kamis 12 Desember.
Kadis Kesehatan, dr. Wahyuni berharap workshop tersebut melahirkan penyamaan perspektif dalam mengintervensi jumlah stunting yang ada di Kabupaten Bulukumba
Dalam penanganan diharapkan komitmen seluruh instansi terkait untuk menjadikan stunting sebagai skala prioritas.
“Melalui workshop ini diharapkan dapat memberikan kesepakatan acuan strategi penanganan stunting di Kabupaten Bulukumba,” pintanya.
Wakil Bupati Bulukumba, Tomy Satria Yulianto dalam sambutannya kembali menggugah komitmen dan cara kerja para pegawai pemda yang melakukan pelayanan di tingkat dasar seperti pelayanan kesehatan. Menurutnya, ASN yang digaji negara seharusnya memiliki attitude dalam pelayanan yang lebih baik dibanding pelayanan yang diberikan karyawan swasta yang upahnya jauh lebih di bawah bahkan tak punya gaji pensiun.
“Saya ingin agar, setelah kembali dari kegiatan ini, semua Kepala Puskesmas melakukan konsolidasi dan berkomitmen untuk menurunkan angka stunting, gizi buruk, kematian ibu dan anak di 2020. Saya kira rumah sakit juga bisa berkomitmen, rumah sakit kita bintang lima jadi pelayanan seharusnya juga bintang lima,” tegasnya.
Dengan membangun komitmen, Tomy berharap kepala puskesmas dan staf-staf punya tujuan setiap harinya dan memperbaiki dan mempertahankan pelayanan yang baik. Terpenting adalah meningkatkan softskill, bersikap ramah dalam pelayanan. Tomy berharap setelah workshop, masing-masing puskesmas melakukan pengecekan data jumlah stunting dan kasus lainnya yang berkaitan di wilayah pelayanannya.
Selain itu, Tomy mendorong Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (PMD) untuk memastikan salah satu juknis pengelolaan dana desa terkait stunting menjadi pekerjaan pemerintah desa. “Namun program yang dimaksud bukan pada studi banding yang pada akhirnya hanya berwujud perjalanan dinas, tapi kegiatan riil yang bersentuhan langsung dalam penanganan stunting,” bebernya.
Akademisi Unhas Prof Veni Hadju, yang menjadi narasumber, menjelaskan kasus stunting hanya dapat diselesaikan dengan penanganan lintas sektor, dengan fokus pada wilayah yang memiliki angka stunting yang tinggi. Persoalan stunting adalah kasus yang lahir dari kekurangan gizi dalam jangka waktu yang lama. “Bisa saja bermula saat petumbuhan anak masih dalam kandungan, dimana 1.000 hari pertama merupakan masa emas pertumbuhan anak,” katanya.
Dikatakannya dalam penanganan stunting harus dilakukan dengan dua intervensi yaitu spesifik dan sensitif. Intervensi spesifik dilakukan oleh Dinas Kesehatan, seperti pengobatan, dan pemenuhan gizi. Sedangkan intervensi sensitif dilakukan oleh sektor lainnya yang terkait dengan pembangunan kesehatan, misalnya Dinas Perumahan, PMD dan Dinas Pemberdayaan Perempuan Anak.
HM Husni, dari Dinas Kesehatan Sulsel, menambahkan, tingginya angka stunting di Sulsel terkhusus di Bulukumba berbarengan dengan angka kematian ibu dan anak. Jika melihat dari angka, tidak menutup kemungkinan kasus terjadi tidak jauh dari Puskesmas dan dari lingkungan kita. “Padahal jika kita aktif dan pelayanan baik itu dapat ditekan” bebernya.
Untuk pencegahan dan pengurangan jumlah kasus stunting, menurutnya pelayanan di desa harus dioptimalkan dengan berkomitmen sesuai Standar Pelayanan Minimal (SPM). Layanan yang menjadi hak masyarakat dan kewajiban pemerintah yakni layanan kesehatan ibu dan anak, layanan menyangkut konseling terkait gizi, sanitasi dan air bersih, PAUD, dan jaminan sosial.* humas / ashock.-