Oleh : Muslimin B. Putra, Kepala Pencegahan Ombudsman RI Sulsel
Pemandangan antrian mobil sepanjang Jalan Perintis kemerdekaan Makassar terjadi mulai pertengahan hingga akhir bulan Maret. Di kawasan Tamalanrea, terdapat tiga SPBU yang melayani penjualan solar yang mengakibatkan bahu jalan sebagian digunakan para sopir angkutan umum dan barang untuk memarkir mobilnya.
Sehingga ruas jalan untuk pengguna jalan lainnya menjadi semakin sempit pada waktu pagi hingga siang. Bahkan terkadang, pemandangan sore hari masih terdapat satu atau dua mobil angkutan orang masih setia mengantri BBM.
Merespon pemandangan tersebut, Ombudsman Sulsel melakukan pemetaan isu penyaluran melalui media massa. Ternyata keluhan melalui pemberitaan media online atas kelangkaan solar bukan hanya terjadi di Makassar, tetapi juga terjadi diluar kota Makassar hingga beberapa pulau penghasil minyak dan gas sekalipun di Jawa mengalami hal yang sama.
Meski tidak ada pengaduan secara langsung atas kelangkaan solar kepada Ombudsman, keluhan melalui media massa dapat menjadi dasar bagi Ombudsman Sulsel untuk melakukan rapid assessment dengan menggelar pertemuan dengan pihak Pertamina untuk menemukenali akar permasalahan kelangkaan solar.
Respon Pertamina
Pertemuan antara Ombudsman Sulsel dengan pihak Pertamina Region VII Sulseltra berlangsung pada Rabu (23/3/2022). Pihak Pertamina diwakili oleh SAM Retailer Sulseltra, Weddy Surya Windrawan menyampaikan bahwa secara nasional kuota tahun 2022 untuk solar JBT (Jenis BBM Tertentu) menurun dibanding tahun 2021. Pada tahun 2022, sebanyak 15,1 juta kilo liter dibandingkan kuota tahun 2021 sebanyak 15,58 juga kilo liter. Sementara untuk wilayah Sulsel, kuota tahun 2021 sebanyak 501.752 kilo liter berbanding kuota tahun 2022 sebanyak 453.394 juta kilo liter. Hal ini menunjukkan penurunan minus 9,6 persen.
Penyaluran solar JBT untuk wilayah Sulsel pada triwulan pertama tahunn 2022 mencapai 1.410 kilo liter per hari. Bila dibandingkan dengan data harian rata-rata realisasi pada triwulan pertama tahun 2021 sebanyak 1.379 kilo liter per hari.
Data ini menunjukkan adanya kenaikan 2 persen. Pertamina mengambil kebijakan agar dilakukan pengaturan penyaluran agar kuota JBT dapat disalurkan untuk kebutuhan masyarakat hingga akhir tahun 2022. Sementara itu lima besar penerima kuota tertinggi penerima solar subsidi (JBT) di Sulsel tahun 2022 adalah Maros sebesar 42.424 kilo liter, Bone 37.504 kilo liter, Makassar 35.554 kilo liter, Gowa 33.354 kilo liter dan Sidrap sebesar 28.337 kilo liter.
Pertamina juga menyampaikan adanya konflik antara Rusia dengan Ukraina menyebabkan harga minyak dunia melambung tinggi dan berdampak pada naiknya harga solar non subsidi.
Solar non subsidi produksi Pertamina ada tiga varian yakni Dexlite yang dijual pada Maret 2022 pada kisaran Rp 13.250,- naik dari Februari tahun yang sama sebesar Rp 12.400,- dan varian Pertamina Dex dengan harga Rp 14.000,0 (Maret 2022) dan Rp 13.430 (Februari 2022) sementara Solar Industri pada kisaran Rp 15.600 (Maret 2022) dan 14.950 (Februari 2022).
Selisih solar subsidi (JBT) dengan solar industry mencapai Rp 10.450 pada Maret dan Rp 9.800 pada Februari 2022. Tingginya selisih harga solar subsidi dengan solar non subsidi dapat menyebabkan terjadinya penyimpangan penggunaan solar subsidi oleh pihak-pihak tersebut diluar angkutan orang dan barang sebagaimana diatur dalam Perpres No. 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan Pendistribusian dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak.
Pada sektor transportasi sesuai Perpres No. 191/2014, pengguna solar subsidi hanya diperuntukkan pada angkutan umum dan orang dengan tanda nomor kendaraan berwarna dasar hitam dan tulisan putih. Demikian halnya diperuntukkan pada kendaraan bermotor umum di jalan untuk angkutan orang atau barang dengan tanda kerndaraan berwarna dasar kuning dengan tulisan hitam.
Dikecualikan pada kendaraan angkutan barang hasil kegiatan perkebunan dan pertambangan dengan jumlah roda lebih dari enam buah. Pengguna solar subsidi juga diperuntukkan bagi kendaraan pelayanan umum seperti ambulance, mobil jenasah, mobil pemadam kebakaran dan mobil pengkut sampah. Pada transportasi air, pengguna solar subsidi adalah warga negara atau berbadan hukum yang menggunakan motor tempel untuk angkutan umum/perseorangan atas rekomendasi pemerintah setempat (lurah/kepala desa/kepala OPD).
Pembagian kewenangan penyaluran solar subsidi terdiri atas tiga pihak yakni regulator, operator dan pengawas. Regulator terdiri atas pemerintah (pusat dan daerah) dan BPH Migas, sementara operator pelaksana teknis penyaluran berdasarkan regulasi dan kuota adalah Pertamina dan INU (Izin Niaga Umum), serta perngawas penyaluran adalah Pemerintah (Kementerian ESDM), BPH Migas dan kepolisian.
Jika terjadi kelangkaan, maka ketiga pihak (regulator, operator dan pengawas) masing-masing bertanggung jawab sesuai porsi tugas dan kewenangannya masing-masing.
Konsekuensi dan Solusi
Fenomena kelangkaan solar semestinya diwasdapai pemerintah karena dapat menjadi pemicu melambungnya harga-harga kebutuhan pokok masyarakat yang disebabkan oleh terhambatnya jalur distribusi logistik.
Apalagi saat ini sudah terjadi pelanggoran kebijakan PPKM menyebabkan terjadi permintaan barang dan jasa yang mengalami kenaikan. Momentum perbaikan ekonomi ini sebaiknya tidak diikuti oleh kelangkaan solar yang menyebabkan biaya-biaya kebutuhan naik karena terhambat pada sisi supply chain karena arus distribusi logistik macet.
Pertamina juga mengklaim persediaan solar subsidi aman secara nasional pada level 20 hari. Sementara kelangkaan solar dipicu oleh peningkatan permintaan sekitar 10 persen diatas kuota.
Jika terjadi permintaan solar melebih prediksi menunjukkan sektor ekonomi semakin menggeliat menuju pada pemulihan ekonomi secara agregat. Pertamina semestinya dapat memandang dinamika pertumbuhan permintaan BBM sebagai momentum positif yang harus didukung dari perspektif penyediaan energi BBM.
Pertamina sebagai penyalur solar subsidi selain PT AKR Corporindo semestinya memiliki formulasi efektif agar kelangkaan solar pada SPBU tidak berkepanjangan. Peningkatan konsumsi solar karena ekonomi mulai menggeliat ditandai arus distribusi barang yang meningkat.
Karena itu solusinya, Pertamina sebagai penyalur semestinya memperbaiki tata penyaluran solar dan menghentikan seruan penghematan pada sejumlah SPBU sesuai kuota karena memicu kelangkaan.
Pada aspek pengawasan juga tidak kalah pentingnya. Kebocoran solar subsidi dapat berpotensi mengurangi nilai manfaatnya pada masyarakat yang menggantungkan harapannya pada angkutan barang dan orang.
Aparat kepolisian sebagai pihak pengawas migas bersama dengan BPH Migas dapat mengintensifkan pengawasannya agar solar bersubsidi tidak jatuh pada pihak-pihak yang bukan menjadi peruntukan solar bersubsidi.
Kelangkaan solar dapat dipicu oleh faktor kebocoran yang luput dari pengawasan aparat sehingga terjadi kuota yang jebol pada setiap triwulan yang berbuntut pada penghematan dilakukan SPBU dan memicu kelangkaan solar.