Karakter Moderasi Rasulullah SAW, Kunci Toleransi dalam Menghadapi Keberagaman Agama

Oleh Dr Munawir Kamaluddin

Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW tidak hanya menjadi momentum untuk mengenang kelahiran beliau, tetapi juga sebagai sarana introspeksi bagi umat Islam dalam meneladani nilai-nilai luhur yang beliau bawa. Salah satu nilai penting yang sangat relevan dalam konteks global saat ini adalah *moderasi dan toleransi beragama*. Islam sebagai agama yang rahmatan lil ‘alamin menekankan pentingnya sikap moderat dalam segala hal, termasuk dalam menjalankan ajaran agama dan dalam berinteraksi dengan pemeluk agama lain. Moderasi dan toleransi ini adalah refleksi dari ajaran Al-Qur’an, hadits Nabi, serta pemikiran para ulama yang diilhami dari kehidupan Rasulullah SAW.

*Konsep Moderasi dalam Islam*

Moderasi dalam Islam sering disebut dengan istilah *wasathiyyah*. Konsep ini mengacu pada sikap seimbang dan tidak berlebihan dalam segala aspek kehidupan. Allah SWT berfirman:

وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِّتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا ۗ
“Dan demikianlah Kami jadikan kalian umat yang wasath (moderat) agar kalian menjadi saksi atas manusia dan agar Rasul menjadi saksi atas kalian.” (QS. Al-Baqarah: 143)

Ayat ini menegaskan bahwa umat Islam dituntut untuk menjadi umat yang seimbang, tidak ekstrem dalam menjalankan agama, tetapi juga tidak abai terhadap kewajiban-kewajiban agama. Dalam konteks moderasi beragama, sikap wasathiyyah berarti menghindari fanatisme dan kekerasan dalam menjalankan agama serta mampu menerima perbedaan sebagai bagian dari sunnatullah (ketetapan Allah).

Dalam haditsnya, Rasulullah SAW juga menekankan pentingnya sikap moderat. Beliau bersabda:

إِيَّاكُمْ وَالْغُلُوَّ فِي الدِّينِ، فَإِنَّمَا أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمُ الْغُلُوُّ فِي الدِّينِ
“Hindarilah oleh kalian sikap berlebihan dalam agama, karena sesungguhnya yang membinasakan orang-orang sebelum kalian adalah sikap berlebihan dalam agama.” (HR. Ahmad)

Sikap berlebihan atau fanatisme dalam agama sering kali menjadi sumber konflik, baik di dalam umat Islam sendiri maupun dengan pemeluk agama lain. Oleh karena itu, Rasulullah SAW mengajarkan kepada kita untuk bersikap moderat dan tidak berlebihan dalam menjalankan agama.

*Toleransi dalam Kehidupan Rasulullah SAW*

Toleransi beragama adalah salah satu aspek paling penting dalam kehidupan Rasulullah SAW. Beliau menunjukkan sikap toleran terhadap pemeluk agama lain, baik dalam urusan sosial, politik, maupun spiritual. Sebagai pemimpin masyarakat Madinah yang majemuk, Rasulullah SAW memberikan hak-hak penuh kepada komunitas non-Muslim, seperti Yahudi dan Nasrani, untuk menjalankan agama mereka tanpa paksaan.

Salah satu bukti nyata toleransi Rasulullah SAW adalah *Piagam Madinah*yang mengatur hubungan antara umat Islam dan komunitas Yahudi di Madinah. Dalam piagam tersebut, Rasulullah menegaskan bahwa setiap komunitas agama memiliki kebebasan untuk menjalankan agama mereka tanpa gangguan:

لِلْيَهُودِ دِينُهُمْ وَلِلْمُسْلِمِينَ دِينُهُمْ
“Bagi Yahudi agama mereka, dan bagi umat Islam agama mereka.”

Ini adalah cerminan prinsip لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ
“Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama” (QS. Al-Baqarah: 256).

Ayat ini menegaskan bahwa Islam tidak memaksakan keyakinan agama kepada siapapun. Setiap individu diberi kebebasan untuk memilih agamanya dan menjalankannya sesuai dengan keyakinan mereka.

*Pemikiran Ulama tentang Moderasi dan Toleransi*

Para ulama telah banyak membahas tentang pentingnya moderasi dan toleransi dalam menjalankan agama. Salah satu ulama yang sangat menekankan hal ini adalah Imam Al-Ghazali. Dalam karyanya, “Ihya ‘Ulumuddin”, beliau menyatakan bahwa agama harus dijalankan dengan sikap tengah-tengah, tidak boleh condong ke arah yang ekstrem. Menurut Al-Ghazali, *sikap ekstrem* dalam agama justru akan menjauhkan seseorang dari esensi ajaran Islam yang penuh dengan kasih sayang dan kedamaian.

Imam Al-Nawawi dalam kitabnya *Riyadhus Shalihin* juga menegaskan pentingnya sikap toleransi dalam hubungan sosial. Beliau mengatakan:

“الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ”
“Seorang Muslim adalah orang yang Muslim lainnya selamat dari lisan dan tangannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadits ini tidak hanya berlaku bagi sesama Muslim, tetapi juga bagi hubungan dengan pemeluk agama lain. Rasulullah SAW mengajarkan umatnya untuk menjaga hubungan yang baik, penuh dengan kedamaian, dan menghindari tindakan yang merugikan orang lain, baik secara verbal maupun fisik.

*Moderasi dan Toleransi sebagai Refleksi Maulid Nabi*

Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW harus menjadi momen bagi kita untuk merefleksikan nilai-nilai moderasi dan toleransi yang beliau ajarkan. Di tengah kondisi dunia yang sering diwarnai oleh konflik antaragama dan kelompok, kita harus belajar dari kehidupan Rasulullah SAW bagaimana menciptakan harmoni di tengah perbedaan. Moderasi dan toleransi bukan berarti mengkompromikan keyakinan agama, tetapi menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang mengajarkan kasih sayang, kedamaian, dan keadilan bagi semua manusia, tanpa memandang latar belakang agama, etnis, atau budaya.

Rasulullah SAW adalah contoh nyata bahwa toleransi tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam. Sebaliknya, toleransi adalah bagian dari ajaran Islam yang mengedepankan dialog, saling menghormati, dan hidup berdampingan secara damai. Sebagai umat Islam, meneladani sikap moderasi dan toleransi Rasulullah adalah cara untuk menjaga harmoni dan perdamaian di dunia yang penuh dengan keberagaman ini.

*Kisah Inspiratif Moderasi dan Toleransi Rasulullah SAW dengan Eksternal Islam*

Rasulullah SAW dikenal sebagai sosok yang memiliki karakter mulia, tidak hanya terhadap umat Islam tetapi juga terhadap mereka yang berbeda keyakinan. Salah satu ajaran penting yang beliau contohkan adalah sikap *toleransi (tasamuh)*dan *kasih sayang (rahmah)* terhadap semua manusia, termasuk mereka yang tidak memeluk Islam.

Berikut adalah beberapa kisah yang menunjukkan sikap toleransi dan kasih sayang Rasulullah kepada non-Muslim, yang dapat menjadi inspirasi bagi kita semua:

1. Perjanjian Madinah: Piagam Keadilan untuk Semua*

Setelah hijrah ke Madinah, Rasulullah SAW segera membentuk *Piagam Madinah*, sebuah konstitusi yang mengatur hubungan antara berbagai suku dan agama di Madinah, termasuk komunitas Yahudi dan suku-suku pagan yang masih memeluk kepercayaan nenek moyang. Salah satu prinsip utama dalam Piagam Madinah adalah memberikan kebebasan beragama kepada setiap penduduk:

“لِلْيَهُودِ دِينُهُمْ وَلِلْمُسْلِمِينَ دِينُهُمْ”
“Bagi Yahudi agama mereka, dan bagi umat Islam agama mereka.”

Melalui piagam ini, Rasulullah memastikan bahwa setiap agama memiliki hak yang sama untuk menjalankan ibadahnya dengan aman dan damai. Ini adalah bukti nyata bagaimana Rasulullah mengajarkan toleransi dan menghormati perbedaan keyakinan. Tidak ada paksaan dalam agama, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an:

“لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ ۖ قَد تَّبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ”
“Tidak ada paksaan dalam agama; sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang salah.” (QS. Al-Baqarah: 256)

2. Sikap Rasulullah SAW terhadap Delegasi Nasrani Najran*

Pada suatu hari, datang sekelompok orang Nasrani dari *Najran* untuk bertemu dengan Rasulullah SAW di Madinah. Mereka datang dengan tujuan untuk berdialog dan mendiskusikan perbedaan teologis antara Islam dan agama mereka. Rasulullah SAW menyambut mereka dengan baik dan penuh hormat.

Bahkan, saat waktu ibadah tiba, Rasulullah memperbolehkan mereka untuk melakukan ibadah di dalam Masjid Nabawi. Ini adalah salah satu contoh luar biasa bagaimana Rasulullah menghargai kebebasan beragama dan menunjukkan bahwa masjid bisa menjadi tempat dialog dan toleransi. Beliau tidak pernah melarang mereka beribadah sesuai dengan keyakinan mereka, menunjukkan sikap kasih sayang dan pengertian terhadap agama lain.

3. Rasulullah dan Wanita Yahudi yang Sakit*

Dalam salah satu kisah yang penuh hikmah, diceritakan bahwa di Madinah terdapat seorang wanita Yahudi yang sering kali mengganggu dan menghina Rasulullah SAW. Setiap kali Rasulullah lewat di depan rumahnya, wanita ini akan melempar kotoran atau sampah kepada beliau. Meski demikian, Rasulullah tidak pernah marah ataupun membalas perbuatan wanita tersebut.

Suatu hari, Rasulullah melewati rumah wanita itu dan mendapati tidak ada gangguan seperti biasanya. Beliau merasa heran dan bertanya kepada para sahabat mengenai keberadaan wanita itu. Para sahabat kemudian memberitahu bahwa wanita tersebut sedang sakit. Rasulullah pun segera pergi ke rumah wanita itu untuk menjenguknya.

Ketika wanita Yahudi itu melihat Rasulullah datang menjenguknya, ia merasa sangat terkejut dan tersentuh oleh sikap kasih sayang Rasulullah. Akhirnya, wanita itu menyadari kebesaran hati Rasulullah dan memeluk Islam. Kisah ini menunjukkan bahwa kasih sayang Rasulullah tidak terbatas pada orang Islam saja, tetapi juga kepada mereka yang berbeda keyakinan dan bahkan kepada mereka yang memusuhinya.

4. Toleransi Rasulullah kepada Kaum Yahudi di Madinah*

Di Madinah, terdapat beberapa kelompok Yahudi yang tinggal berdampingan dengan umat Islam. Rasulullah SAW selalu bersikap adil dan menghormati hak-hak mereka sebagai warga negara Madinah. Salah satu kisah yang menginspirasi adalah ketika seorang Muslim dan seorang Yahudi bersengketa mengenai harta. Keduanya membawa perkara tersebut kepada Rasulullah SAW untuk diadili.

Setelah mendengar bukti-bukti yang ada, Rasulullah SAW memutuskan perkara itu dengan adil, meskipun keputusan itu memenangkan pihak Yahudi. Rasulullah tidak membeda-bedakan antara Muslim dan non-Muslim dalam hal keadilan. Sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an:

“يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ ۖ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَىٰ أَلَّا تَعْدِلُوا ۚ اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ”
“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kalian orang yang benar-benar menegakkan (keadilan) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorongmu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa.” (QS. Al-Ma’idah: 8)

Rasulullah menekankan pentingnya keadilan tanpa melihat latar belakang agama, etnis, atau suku. Sikap adil beliau kepada kaum Yahudi di Madinah adalah bukti bahwa Islam mengajarkan keadilan dan toleransi terhadap semua manusia, tanpa memandang perbedaan.

5. Piagam Perlindungan Rasulullah untuk Biara Kristen St. Catherine*

Salah satu kisah paling luar biasa tentang toleransi Rasulullah SAW adalah ketika beliau memberikan *piagam perlindungan* kepada *biara Kristen St. Catherine di Gunung Sinai*. Dalam piagam tersebut, Rasulullah SAW memberikan jaminan kepada para biarawan dan umat Kristen bahwa mereka akan dilindungi oleh umat Islam dan bebas menjalankan agama mereka.

Dalam salah satu bagian piagam itu disebutkan:

“Tidak ada seorang pun dari umat Muslim yang akan menghancurkan biara mereka, atau mengusir mereka, atau memaksa mereka untuk meninggalkan keyakinan mereka.”

Ini adalah salah satu contoh bagaimana Rasulullah SAW menjunjung tinggi kebebasan beragama dan melindungi hak-hak orang non-Muslim dalam menjalankan ibadah mereka. Piagam ini juga menunjukkan bahwa Islam, sejak awal, mengajarkan toleransi dan koeksistensi damai dengan pemeluk agama lain.

Walhasil dari kisah-kisah di atas, jelas terlihat bahwa Rasulullah SAW adalah teladan utama dalam hal *toleransi (tasamuh)* dan *kasih sayang (rahmah)* terhadap semua manusia, termasuk mereka yang berbeda keyakinan. Rasulullah menunjukkan bahwa toleransi tidak berarti mengkompromikan prinsip-prinsip Islam, melainkan menunjukkan kebesaran hati, keadilan, dan kasih sayang kepada semua makhluk Allah SWT.

Dalam peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, kita sebagai umat Islam perlu merefleksikan kembali teladan beliau dalam kehidupan sehari-hari. Sikap moderasi, toleransi, dan kasih sayang yang ditunjukkan oleh Rasulullah menjadi landasan penting dalam menciptakan masyarakat yang damai, harmonis, dan penuh kasih sayang di tengah-tengah keberagaman yang ada.

*Kesimpulan*

Moderasi dan toleransi beragama yang diajarkan oleh Rasulullah SAW merupakan landasan penting dalam membangun masyarakat yang harmonis dan damai. Sikap wasathiyyah atau moderasi adalah jalan tengah yang menjaga kita dari sikap ekstrem dalam menjalankan agama, sedangkan toleransi adalah wujud nyata dari kasih sayang dan penghormatan terhadap perbedaan. Dalam konteks peringatan Maulid Nabi, kita perlu merefleksikan bagaimana sikap moderasi dan toleransi ini dapat diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari.

Dengan meneladani kehidupan Rasulullah SAW, kita tidak hanya akan menjadi umat yang kuat secara spiritual, tetapi juga mampu hidup berdampingan dengan orang lain dalam suasana damai dan saling menghormati. Moderasi dan toleransi adalah dua pilar utama yang harus kita pegang teguh untuk menciptakan dunia yang lebih adil dan penuh dengan rahmat bagi seluruh alam.

اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَىٰ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَىٰ آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِينَ
“Ya Allah, limpahkanlah shalawat kepada junjungan kami Nabi Muhammad, serta keluarganya dan para sahabatnya.”(*)