Peran dan kontribusi Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) sangat penting bagi kemajuan bangsa. Tumbangnya Orde Baru menjadi salah satu contoh kontribusi besar LSM dalam pemajuan demokrasi di Indonesia.
Pemerintah juga telah mengakui peran penting LSM. Selain sektor swasta. Untuk turut terlibat dalam pelaksanaan dan pencapaian pembangunan yang direncanakan pemerintah, baik lokal maupun nasional.
Sayangnya peran dan kontribusi LSM tampaknya belum diimbangi, dengan upaya pemerintah untuk memajukan dan atau mendukung sektor yang sering disebut sebagai sektor ketiga pembangunan.
Belum adanya lingkungan pendukung yang memadai bagi berkembangnya sektor ini seperti di negara-negara maju lainnya. Menyebabkan LSM Indonesia sulit bertahan di situasi krisis, terlebih pada masa pandemi Covid-19. LSM juga memiliki kerentanan yang sama dengan masyarakat yang didampinginya.
Hamong Santono, Manajer Advokasi Yayasan Penabulu menyatakan, dalam pelbagai forum pemerintah seringkali menyebut LSM sebagai mitra strategis pembangunan.
Namun pernyataan tersebut belum diikuti dengan upaya memajukan dan memperkuat peran LSM terutama dari sisi pendanaan.
“Sementara pada sisi lain, pemerintah telah mendorong pemajuan demokrasi dan LSM di negara-negara lain. Dengan membentuk Lembaga Dana Kerja Sama Pembangunan Internasional (LDKPI)-Indonesian AID yang bersifat dana abadi dengan pengelolaannya serupa dengan LPDP,” kata Hamong dalam rilisnya, Rabu 16 Februari 2022.
Maria Anik Wusari Deputi Direktur Yayasan Penabulu menyatakan, pada masa pandemi Covid-19 semua negara termasuk negara-negara maju berfokus. Untuk memulihkan kondisi di negaranya masing-masing.
Situasi ini berpotensi pada makin menurunnya dana bantuan pembangunan yang diberikan kepada negara-negara seperti Indonesia, termasuk juga bantuan kepada LSM.
Terlebih, jauh sebelum pandemi, Indonesia telah menjadi negara kelas menengah. Sehingga dianggap tidak lagi menjadi prioritas untuk memperoleh bantuan pembangunan dari negara lain. Jika situasi ini dibiarkan terus menerus maka posisi LSM akan semakin sulit untuk bertahan.
Sementara Direktur Eksekutif YASMIB Sulawesi, Rosniaty Azis berpandangan, situasi LSM di daerah sangat sulit. Sumber-sumber pendanaan bagi keberlanjutan kerja LSM di daerah tidak banyak.
Jika pun tersedia sumber-sumber pendanaan dari pemerintah, tidak semua LSM dapat mengaksesnya.
Pada tahun 2019, pada APBD Perubahan Provinsi Sulawesi Selatan terdapat sekitar Rp22 Miliar rencana alokasi belanja hibah. Kepada sejumlah Badan/Lembaga/Organisasi Kemasyarakatan. Tetapi mekanisme tentang proses mengakses anggaran ini tidak diketahui oleh semua LSM.
Bahkan pada tahun 2020 (APBD Pokok), jumlahnya mencapai sekitar Rp64 Miliar. Demikian juga pengadaan barang dan jasa melalui swakelola, khususnya Swakelola Tipe 3, belum semua prosesnya terbuka dan mudah diakses.
Kondisi ini mungkin tidak jauh berbeda dengan daerah lain. Keterbukaan informasi perencanaan dan penganggaran untuk alokasi anggaran yang dapat dikelola oleh LSM masih merupakan tantangan tersendiri yang perlu didorong.
Bona Tua, Senior Program Officer SDGs INFID sekaligus anggota Kelompok Kerja (Pokja) Perumusan Perpres Pendanaan LSM menyatakan, bahwa dengan sejarah dan kontribusi yang telah diberikan, sudah saatnya pemerintah mendorong terciptanya lingkungan pendukung bagi keberlanjutan LSM. Salah satunya dengan menyediakan pendanaan bagi LSM melalui APBN. Mekanisme pendanaan tersebut perlu diatur melalui Peraturan Presiden (Perpres).
Bona menambahkan, saat ini Pokja sedang merumuskan draft Perpres Dana Abadi LSM usulan dari masyarakat sipil.
Dana abadi ini bukan hibah cuma-cuma kepada LSM, melainkan mekanisme pengadaan barang dan jasa publik yang bisa dilakukan oleh LSM sesuai pengalaman, kepakaran dan area kerjanya.
Perpres tersebut nantinya juga harus mengatur tata kelola pengelolaan dana yang baik, agar transparan dan akuntabel, serta dapat diakses oleh seluruh LSM di Indonesia, pungkas Bona.