Dalam sebuah pertemuan, ada yang bertanya ke saya, mengapa saya punya perhatian cukup besar terhadap isu-isu politik, kebudayaan, seni dan filsafat padahal secara akademik formal saya adalah seorang sarjana teknik. Lalu saya jawab dengan sebuah pernyataan gampangan, bahwa hidup ini bukan hanya persoalan teknis, hidup ini kompleks dan multifaset.
Manusia dan segala aktivitasnya saat ini, tidak ada yang tak dimediasi oleh produk-produk teknis. Saat kita ingin berkomunikasi, maka tampillah gadget, telpon, radio, televisi sebagai yang memediasi komunikasi. Saat kita ingin berpindah tempat, maka tampillah mobil, motor, kapal laut, pesawat terbang dan kereta cepat sebagai yang memediasi, begitu pula dengan aktivitas-aktivitas yang lain, mulai dari makan, minum, buang hajat, bereproduksi dan sebagainya.
Di satu sisi, mediasi oleh benda-benda teknik telah memberikan kita keuntungan berupa efisiensi, kecepatan dan kenyamanan. Tetapi di satu sisi mediasi oleh beribu bahkan berjuta benda-benda teknik, sedikit banyaknya membuat kita mengalami kesulitan dalam apa yang Martin Heidegger sebut dengan istilah besinnlinche Denken (berpikir meditatif). Apa itu berpikir meditatif ?, yakni proses berpikir yang melibatkan dunianya sebagai fakta fenomenologis, bukan hanya sebagai fakta natural atau fakta ilmiah.
Lalu apa itu fakta fenomenologis? Banyak perspektif tentang hal ini. Kalau kita meminjam gagasan Max Scheller (1874-1928) seorang fenomenolog Jerman, maka yang disebut dengan fakta fenomenologis adalah semacam “isi intuitif” dari pengalaman yang nampak langsung di hadapan kesadaran, semacam “seikat makna” yang relevan bagi subjek yang menyadarinya. Max Scheller lalu membedakan fakta fenomenologis dengan fakta natural dan fakta ilmiah. Fakta natural bagi Scheller adalah hasil tangkapan inderawi dan menyangkut benda-benda, sedangkan fakta-fakta ilmiah adalah fakta hasil abstraksi logis-matematis dari fakta-fakta natural yang ditangkap.
Bagi Scheller, fakta natural bukanlah fakta yang menjadi landasan bagi fakta-fakta yang lain sebagaimana dalam empirisme, bahwa gagasan berasal dari kesan, dan yang dimaksud dengan kesan adalah segala impresi indrawi. Justru fakta fenomenologislah yang merupakan basis bagi fakta-fakta yang lain, mengapa ? karena dunia (welt) nampak pertama kali di hadapan kita, bukan sebagai benda-benda yang terpisah, tapi lebih tepatnya menampakkan diri sebagai aliran pengalaman akan peristiwa. Jadi di sini mengumpamakan adanya hubungan yang dialektis antara kesadaran dan dunia, dunia adalah sejauh “dunia bagi manusia”.
Barangkali ini juga, bisa sedikit menjelaskan, mengapa fundamentalisme agama atau segala bentuk totalisme kebenaran dan populisme politik, punya daya tariknya justru saat amnusia bergelimang akan benda. Seringkali justru kita meramalkan, bahwa dalam dunia yang bergelimang dengan benda, serba dibuat nyaman oleh fasilitas dan dipercepat dengan teknologi, membuat manusia akan semakin “materialis”, manusia akan semakin berjarak dari gagasan-gagasan seperti Tuhan, ideologi, agama. Tapi justru akhir-akhir ini kita melihat sebaliknya, agama semakin mengukuhkan dirinya di ruang publik dan ide tentang keunggulan ras tertentu telah menjadi retorika politik yang laku di mana-mana.
Tidak ada yang salah dengan agama, justru agama menjadi semacam “ladang makna” bagi manusia, tetapi yang jadi soal jika agama dianggap sebagai sesuatu yang tak ada sangkut-pautnya dengan kemanusiaan, agama kita imajinasikan sebagai sesuatu yang sepenuhnya terlepas dari sejarah manusia. Padahal antara agama, sejarah, kebudayaan dan manusia adalah hal-hal yang saling mengandaikan.
Agama sebagaimana dunia, adalah agama sejauh “agama bagi manusia”. Karena agama adalah agama bagi manusia, maka agamapun tetap merupakan bagian dari kesejarahan kemanusiaan. Lalu apa akibatnya, jika agama dan manusia/kemanusiaan kita ceraikan ? di satu sisi kita begitu taat dalam menegakkan ritual agama, tetapi kita minus akan kerendahan hati. Salah satu penanda kerendahan hati adalah, keinginan dan kapasitas untuk mendengar “yang lain”, bukankah wahyu menuntut keinginan kita mendengarnya agar bisa memahaminya ? bukankah Tuhan adalah “yang lain” bagi kita karena tidak ada yang menyerupaiNya ? termasuk pikiran kita tentangNya tidak akan bisa menyerupaiNya ?
Hal yang serupa juga terjadi pada politik. Politik tidak kita anggap sebagai politik sejauh bagi manusia, dan apa yang terjadi ?, praktik politik kita menjadi semacam prosedur belaka, menjadi tata cara saja, tetapi secara etis miskin akan penghormatan terhadap kedaulatan politik warga negara. Warga negara hanya dikalkulasi sebagai kumpulan orang, yang secara statistik senantiasa diupdate oleh BPS dan KPU setiap sensus atau menjelang pemilihan umum. Kedaulatan rakyat hanya dihormati saat seminar-smeinar politik, atau di ruang-ruang kuliah, tetapi menjadi tidak signifikan karena menjadi hal yang tak lebih penting ketimbang tata cara prosedur politik formal.
Mungkin kita terjebak apa yang Heidegger sebut dengan rechnende Denken (berpikir kalkulatif). Kita sedikit demi sedikit berpikir seperti teknologi, mengoperasikan, mengalkulasi, meperalat, memanipulasi, mengejar target dan seterusnya. Heidegger mengatakan, bahwa sepenuhnya berpikir kalkulatif bukanlah berpikir, bahkan ia menyebutnya dengan “lari dari berpikir..”. Bukan karena berpikir kalkulatif sepenuhnya salah atau jahat, yang menjadi soal adalah jika menjadikan berpikir kalkulatif sebagai cara berpikir yang mendominasi diri. Cara berpikir yang mengadaptasi sepenuhnya mekanisme teknologis, akan membuat diri kedap terhadap pertanyaan-pertanyaan eksistensil, padahal makna berawal dari pertanyaan-pertanyaan tersebut.
DI Republik kita, berpikir kalkulatif bukan hadir, karena kita menjadi produsen teknologi, tetapi justru hadir karena kita mengkonsumsi teknologi. Teknologi yang saya maksud di sini bukan hanya perangkat-perangkat seperti mobil listrik, pesawat jet, smartphone, TV LED dan sebagainya, tetapi juga teknologi ekonomi-politik (tim buzzer profesional, teknik propaganda yang jitu, organisasi mafia pajak yang rapi dan efektif, prosedur elektoral yang panjang dan rumit, birokrasi pemerintahan dsb). Jika kita hanya menjadi konsumen teknologi yang setia, maka kemungkinan besar kita akan mendapatkan mudharat yang lebih pedih ketimbang apa yang dikatakan oleh Heidegger, bukan sekedar menjadi orang-orang yang berpikir kalkulatif-instrumental tetapi juga menjadi buta akan backstage (ide,filsafat, metode) teknologi, karena yang bisa kita akses hanyalah frontstage (produk jadi dan sekedar kemampuan merakit) teknologi.
Seberapa banyak di antara kita yang sering berpesawat, mennggunakan gadget dan laptop mahal, tetapi kita tidak tertarik sama sekali dengan etos saintifik (eksperimen, observasi, pemecahan masalah dll.) yang melatari produk-produk tersebut. Sudah berapa lama kita berada di alam reformasi, tapi jarang di antara kita mau pusing (pusing secara etik, bukan pusing karena mencari keuntungan ekonomik) dengan proses politik dan perumusan kebijakan publik di tingkat elit. Jadi sebenarnya ini lebih menyedihkan ketimbang ketidakmampuan berpikir meditatif karena dominasi berpikir kalkulatif, bahkan banyak di antara kita mengalami apa yang Heidegger sebut dengan Gedankenlosingkeit (ketidakberpikiran). “Ketidakberpikiran adalah seorang tamu menyeramkan yang datang dan pergi di mana saja dalam dunia ini”, ucap Heidegger dalam pidatonya di Messkirch.
The post Lari Dari Berpikir appeared first on Kolong Kata.
Sumber: https://kolongkata.com/2020/02/08/lari-dari-berpikir/