BugisPos — Tak ada seorang pun yang senang dikritik. Sebaliknya, senang di puji. Dari pujian yang halus sampai yang kasar sekali pun, umumnya disenangi. Sebaliknya, jika dikritik, pasti minimal merah kuping dan mukanya, hingga membenci si pengkritik. Padahal, boleh jadi, kritik itu adalah demi perbaikan untuk dirinya dan orang lain, tetapi meski demikian, sudah menjadi watak manusia tak suka dikritik apalagi dicaci.
Jarang orang bisa membedakan cacian dan makian, dan kritikan.
Jika dipuji dan disanjung, terutama bagi para pemimpin di hadapan khalayak ramai, sungguh menyenangkan. Padahal, kerap pujian itu, sesungguhnya merupakan lubang yang siap menjerumuskannya.
Perlu dipahami, bahwa Kebal atas kritikan berbeda makna dan implikasinya dengan anti kritik.
Orang yang kebal kritik, tidak membenci para pengkritiknya. Tetapi orang yang anti kritik, cenderung membenci para pengkritiknya dan tidak sedikit menaruh dendam secara tersembunyi terhadap pengkritiknya.
Kita memang tidak bisa menghentikan secara mudah orang yang mengkritik kita, secara tidak adil dan kasar.
Karena itu, jauh lebih penting untuk belajar mengatasinya, sehingga kita tidak terganggu dalam menjalankan tugas kita.
Adalah Eleanor Roosevelt sosok yang memiliki cukup banyak sahabat setia yang takkan mengkritiknya. Tetapi, ia juga kerap menghadapi para pengkritiknya yang kejam.
Suatu hari ia minta nasehat bibinya (isteri Theodore Roosevelt; “saya ingin mengerjakan ini dan itu, tetapi saya takut dikritik orang.” Lalu bibinya berkata; ” Abaikan saja omongan orang-orang itu, selama kau benar.” Hingga kemudian hari, sepotong nasehat itu sangat mujarab, khususnya ketika memerankan posisi sebagai ibu negara.
Eleanor mengenang sepotong nasehat bibinya, bahwa satu-satunya cara mengatasi kritik, adalah, melakukan apa yang kita rasa benar, karena bagaimana pun kita akan tetap dikritik. Kita akan dikritik kalau melakukan sesuatu, tetapi juga akan tetap dikritik kalau tidak melakukannya.
Terkait dengan nasehat dalam menghadapi kritik, ada baiknya kita menyimak kisah Lukmanul Hakim dengan Anaknya. Suatu ketika Lukmanul Hakim mengajak anaknya pergi ke pasar dengan seekor keledai sambil menenteng tali kekang keledai berjalan berdua di depan.
Di tengah perjalanan, orang pun menggunjingnya dengan berkata; sungguh bodoh orang tua dan anak itu repot membawa keledai tapi tidak menungganginya. Mendengar cibiran orang itu, lantas Lukmanul Hakim meminta anaknya naik menunggangi keledainya, lalu Lukmanul Hakim menuntunnya.
Tapi tak lama berselang, orang- orangpun mengkritik; sungguh kurang ajar anak itu, bersenang-senang di atas keledai, sementara orang tuanya menderita berjalan. Mendengar itu, si anak tidak tega dan tidak enak hati, lalu mempersilahkan orang tuanya naik keledai lalu menggantinya menuntun keledai.
Tapi itu pun tak menghentikan celaan dari orang lain, dengan kritikan, bahwa sungguh si orang tua tidak menyayangi anaknya. Maka Lukman pun mengajak anaknya sekalian berdua menaiki keledai.
Tapi ini pun tak menghentikan kritik, bahkan lebih pedas kritiknya. Mereka berdua dinilai menyiksa binatang.
Atas pengalamannya itu anak Lukmanul Hakim kemudian berkata: Apakah yang seharusnya kita perbuat hingga semua orang dapat menerima apa yang kita lakukan dan kita bisa selamat dari kritikan mereka?” Lukmanul Hakim menjawab ; Wahai anakku, sesungguhnya aku mengajakmu melakukan perjalanan ini adalah bermaksud untuk menasihatimu.
Ketahuilah bahwa kita tidak mungkin menjadikan seluruh manusia menerima atas apa yang kita lakukan. Kita pun, sepenuhnya tidak akan selamat dari kritikan mereka, karena tiap manusia memiliki sudut pandang yang berbeda. karena manusia memiliki akal yang berbeda-beda.
Maka sebagai orang yang bepikir, kita seharusnya cukup menyempurnakan kewajiban kita, tanpa menghiraukan perkataan orang lain. Yang terpenting, cukup Allah meridhoi perbuatan kita. Intinya kita jangan bergantung pada penilaian manusia, tetapi cukup Allah semata yang jadi saksi.
Sebagai catatan penutup, ada baiknya kita simak pernyataan Abraham Lincoln tentang kritik; ” Kalau saya diharuskan hanya membaca semua serangan pada diri saya, dan tidak perlu menjawab, toko ini mungkin penuh, dan sudah tidak mungkin menjual barang lain. Tetapi, saya melakukan apa yang saya ketahui sebaik-baiknya, sebaik yang saya bisa, dan saya bersungguh-sungguh melaksanakannya sampai selesai.
Kalau hasil akhirnya baik, semua serangan atas diri saya, tidak ada artinya lagi. Kalau toh hasil akhirnya buruk, hati nurani saya pun tidak tersiksa lagi. Konon, nasehat itulah yang memotivasi keberhasilan jenderal Mac Arthur dan Winston Churchil sebagai pemimpin, karena menyalinnya, dan memajang di meja kerjanya. Wallahu A’lam Bishawwabe (**)
Editor : Zhoel
Sumber: https://bugispos.com/2020/02/20/kebal-kritik-beda-ki-anti-kritik/